Rencana Relokasi Alun Alun Kota Probolinggo Picu Penolakan
Share

SUARAGONG.COM – Rencana relokasi pedagang oleh-oleh khas haji dan umrah dari kawasan Alun – Alun Kota Probolinggo, depan Masjid Agung Raudhotul Jannah ke Taman Wisata Studi Lingkungan (TWSL) menuai gelombang penolakan. Puluhan pedagang yang tergabung dalam Paguyuban Oleh-Oleh Haji dan Umroh Kota Probolinggo menggelar aksi protes pada Jumat, 13 Juni 2025, menuntut kejelasan dan keadilan atas kebijakan yang mereka anggap sepihak.
Rencana Relokasi Kawasan Alun-Alun Probolinggo Picu Penolakan Pedagang
Dari sepuluh pedagang yang aktif berjualan di kawasan Alun-Alun Kota Probolinggo, hanya lima yang ditawari relokasi ke area TWSL. Namun, lokasi baru itu dinilai tidak relevan dengan jenis usaha mereka yang erat dengan nuansa religius.
Rivo Alfadani, salah satu pedagang asal Jrebeng Wetan, menegaskan bahwa menjual produk seperti kurma, air zam-zam, tasbih, dan parfum khas Timur Tengah membutuhkan suasana spiritual yang tidak bisa ditemukan di lokasi rekreasi seperti TWSL.
“Orang membeli oleh-oleh haji ketika merasakan atmosfer religius, biasanya setelah salat Jumat atau tarawih. Masjid Agung punya magnet itu. Kalau dipindah ke dekat kandang rusa, siapa yang mau beli kurma?” keluh Rivo.
Ketua paguyuban, Bambang Suwoto, bahkan menyebut lokasi mereka saat ini sebagai “Ampel-nya Kota Probolinggo”, merujuk pada kawasan ikonik di Surabaya yang dikenal sebagai sentra oleh-oleh haji.
Kritik atas Minimnya Dialog dan Ketimpangan Kebijakan
Menurut Bambang, relokasi dilakukan secara tergesa tanpa dialog terbuka antara pedagang dan pemerintah. Ia menyoroti rencana pemagaran area berjualan yang dijadwalkan pada 21 Juni, yang menurutnya justru memperkeruh suasana.
“Kami tidak menolak penataan, tapi jangan sampai kami disingkirkan tanpa solusi. Kami ingin berdialog, bukan dipagari,” katanya.
Bambang juga mempertanyakan ketimpangan penertiban, sebab Pujasera Alun-Alun yang sepi dan tidak terawat tidak mengalami penataan serupa. Permintaan audiensi dengan Wali Kota Probolinggo, dr. Aminuddin, disebut belum mendapatkan respons, sehingga mereka akan mengajukan surat resmi ke DPRD.
Baca Juga : Tulisan Ikonik Neon Box di Alun Alun Kota Probolinggo Rusak
Risiko Ekonomi dari Relokasi Tanpa Riset Sosial
Kajian dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM mencatat bahwa relokasi UMKM tanpa analisis sosial-ekonomi yang memadai dapat menurunkan pendapatan hingga 60 persen dalam enam bulan pertama. Dalam konteks ini, TWSL dinilai tidak memiliki karakteristik konsumen yang sesuai karena didominasi pengunjung rekreasi, bukan pembeli produk religius.
“Relokasi ini bisa membuat kami bangkrut. Tempat baru tidak cocok dengan jenis dagangan kami,” imbuh pedagang lainnya.
Ajakan untuk Revisi Kebijakan dengan Pendekatan Partisipatif
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Airlangga, Dr. Yayan Mulyana, menegaskan pentingnya pendekatan partisipatif dalam penataan kota.
“Relokasi harus melibatkan masyarakat. Kalau tidak, justru akan menimbulkan resistensi dan ketegangan sosial,” katanya.
Langkah audiensi dengan DPRD dinilai strategis untuk membangun ruang mediasi. DPRD sebagai representasi rakyat dapat menjembatani dialog agar muncul solusi yang berkeadilan.
Baca Juga : Pelanggaran Jalur Satu Arah Masih Marak di Sekitar Alun-Alun Kota Probolinggo
Revitalisasi Berbasis Budaya: Belajar dari Kota Lain
Kawasan depan Masjid Agung Raudhotul Jannah telah menjadi simpul ekonomi informal yang tumbuh berdampingan dengan aktivitas keagamaan dan wisata religi. Pendekatan kebijakan tata kota berbasis pelestarian budaya dinilai lebih tepat dibandingkan sekadar penertiban fisik.
Beberapa kota seperti Yogyakarta dan Solo telah menerapkan penataan UMKM di sekitar situs keagamaan dengan tetap menjaga estetika kota dan kenyamanan publik. Model serupa dapat menjadi inspirasi bagi Pemerintah Kota Probolinggo untuk merumuskan kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan. (Duh/aye)