Revisi UU TNI Timbulkan Polemik dan Kontroversi
Share

SUARAGONG.COM – Pembahasan Undang-Undang UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali menghangat. Menimbulkan perdebatan sengit antara pihak yang mendukung revisi UU TNI dengan mereka yang meragukan substansi dan proses pembahasannya.
Kontroversi RUU TNI: Kekhawatiran Kembalinya Dwifungsi ABRI
Sejak awal pembahasannya, RUU TNI ini telah memicu kontroversi. UU yang telah berusia hampir 21 tahun ini dinilai memerlukan pembaruan. Tetapi kebutuhan tersebut diiringi oleh kekhawatiran bahwa revisi ini justru akan memunculkan kembali dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru.
Artikel ini akan mengulas polemic seputar RUU TNI, mengungkap alasan di balik revisi, dan mencermati kecemasan yang timbul dari proses legislasi ini.
Baca Juga : RUU TNI Disahkan Ini Aturan Baru yang Wajib Diketahui
Revisi UU TNI: Urgensi di Bawah Bayang-Bayang Masa Lampau
Revisi UU TNI diusulkan dengan alasan bahwa aturan yang ada saat ini sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Khususnya dalam menghadapi tantangan keamanan yang semakin kompleks.
Perubahan strategi, teknologi, dan kebijakan sejak UU TNI diteken pada 2004, menuntut penyesuaian dalam tubuh TNI.
Pentingnya reformasi untuk meningkatkan profesionalisme dan kesiapsiagaan TNI dalam menghadapi ancaman yang semakin kompleks juga menjadi alasan penting.
Terdapat beberapa isu krusial yang menjadi sorotan dalam revisi ini, diantaranya adalah pengaturan tugas pokok TNI, penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga (K/L), dan batas usia pensiun prajurit.
Namun, dibalik alasan yang rasional tersebut, terdapat kekhawatiran bahwa revisi ini akan membawa kembali bayang-bayang dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru.
Kekhawatiran ini muncul dari rencana penambahan tugas pokok TNI, terutama dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP), serta rencana perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit aktif.
Baca Juga: DPR Resmi Sahkan Revisi RUU TNI Jadi Undang-Undang
Ambiguitas OMSP dan Perluasan ke Jabatan Sipil
Salah satu poin yang menarik perhatian adalah rencana penambahan cakupan OMSP. Di mana meliputi tugas seperti membantu pemerintah dalam upaya menanggulangi ancaman siber.
Membantu pemerintah dalam melindungi dan menyelamatkan WNI serta kepentingan nasional di luar negeri, dan membantu pemerintah dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika, prekursor, dan zat adiktif lainnya.
Penambahan cakupan OMSP ini dinilai berpotensi meluas dan berbahaya karena meniadakan peran parlemen dalam menyetujui pelaksanaan OMSP melalui kebijakan politik negara.
Jika sebelumnya keputusan politik negara diperlukan untuk menjalankan OMSP, dalam draf RUU TNI yang baru ini, pelaksanaan OMSP akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres).
Perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit aktif juga menimbulkan kecemasan.
Rencana penambahan jabatan ini dinilai akan meningkatkan intervensi militer dalam bidang sipil dan mengurangi prinsip supremasi sipil.
Baca Juga: Player Roblox di Indonesia Gelar Demo Menolak Revisi UU TNI
Transparansi dan Partisipasi Publik
Polemik seputar RUU TNI diwarnai oleh rendahnya transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembahasannya. Diskusi yang terkesan tergesa-gesa dan tertutup menimbulkan dugaan adanya tujuan tertentu dibalik revisi ini.
Penting untuk ditekankan bahwa RUU TNI adalah peraturan yang sangat krusial dan berdampak luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca Juga: Daftar Pasal Kontroversial di RUU TNI yang Baru Disahkan DPR Jadi UU
Pembahasannya harus dilakukan secara terbuka, melibatkan semua pihak, terutama masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga ketahanan.
Hanya dengan proses demokratis dan transparan, revisi UU TNI dapat benar-benar memperkuat pertahanan negara dan meningkatkan profesionalisme TNI tanpa mengurangi prinsip supremasi sipil. (Cld/ay)
Baca Juga Artikel Berita Lain dari Suaragong di Google News