Royalti Musik Jadi Momok Pelaku Usaha di Malang
Share

SUARAGONG.COM – Polemik penarikan royalti musik kini semakin ramai dibicarakan, terutama di kalangan pelaku usaha kecil di Kabupaten Malang. Pemerintah bersama perwakilan musisi dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sepakat bahwa untuk sementara penarikan royalti lagu akan difokuskan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Skema ini berlaku selama dua bulan ke depan, sambil menunggu rampungnya revisi Undang-Undang (RUU) Hak Cipta.
Aturan Royalti Musik Jadi Ketakutan Pengusaha di Kabupaten Malang
Meski begitu, aturan royalti justru menjadi momok baru bagi pemilik bisnis di daerah, khususnya kafe, restoran, dan pusat kebugaran. Banyak pelaku usaha mengaku resah, lantaran musik sudah menjadi bagian dari suasana yang mereka jual kepada pelanggan.
Seorang pekerja di salah satu kafe dan resto di Kepanjen, Swara Alam, mengungkapkan keresahannya. “Ya jadi ragu buat muter musiknya, kan biasanya sambil kerja dan pelanggan juga sambil nyantai diputarkan musik untuk menghidupkan suasana,” ujarnya.
Beban Baru Pemilik Usaha
Pihak manajemen kafe juga menilai pembayaran royalti menambah beban baru. Sebagai alternatif, mereka memilih menggunakan lagu bebas copyright. Namun masalah kembali muncul saat acara live musik digelar pada akhir pekan. Band dan penyanyi kecil yang biasanya tampil juga ikut merasakan dampak royalti. “Sudah nggak seberapa tapi tetap wajib bayar. Kan agak susah juga buat mereka kalau mau manggung,” tambahnya.
Keluhan serupa datang dari Panji, pemilik salah satu GYM di Dilem, Kepanjen. Menurutnya, musik adalah bagian dari layanan yang wajar diberikan kepada pelanggan. Namun, aturan royalti membuatnya terganggu. Panji menyoroti soal transparansi aliran dana. “Saya lebih menyorot pada transparansi lembaga kolektif-nya. Dana itu harus jelas tersalurkan kepada pihak pemilik hak cipta. Kalau adil dan sesuai, saya rela bayar. Tapi sekarang aturannya belum jelas,” tegasnya.
Ia bahkan mengaku mungkin terpaksa membebankan sebagian biaya royalti kepada pelanggan jika aturan tersebut benar-benar diterapkan. “Dengan berat hati, mungkin setengah pembayaran royalti akan dibebankan ke pelanggan,” ucapnya.
Baca Juga : Polemik Royalti Musik, Akademisi FH UB Ingatkan Keadilan Hak Cipta
Kebijakan Diharapkan Ramah Pada Pengusaha Kecil

Panji, Pemilik Gym Joglo di Dilem, Kepanjen, Kabupaten Malang (Aye)
Panji berharap kebijakan penarikan royalti musik bisa lebih ramah bagi pengusaha kecil. Sosialisasi aturan juga perlu ditingkatkan, agar tidak menimbulkan ketakutan di kalangan pelaku usaha. “Kondisi ekonomi sedang tidak stabil, jumlah pengunjung juga berkurang. Kalau harus bayar royalti tanpa aturan yang jelas, makin berat bagi kami,” katanya.
Saat ini revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta masih dalam pembahasan. Publik berharap revisi aturan tersebut bisa melahirkan ekosistem yang lebih adil—musisi tetap mendapat penghargaan layak atas karyanya, sementara pelaku usaha tidak terbebani saat memutar musik di ruang komersial. (Aye/sg)