Type to search

Pemerintahan

RUU TNI: Perkuat Pertahanan atau Kembalinya Dwifungsi ABRI?

Share
FT : Pembahasan RUU TNI dilakukan oleh DPR RI dan pemerintah di Jakarta pada pertengahan Maret 2025./sc : aye

SUARAGONG.COM – Berbagai elemen masyarakat kini melontarkan Pendapat, Penilaian dan kritik untuk Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Sebuah gerakan dari pihak pemerintah yang menjadi sorotan utama terkini. Revisi ini bertujuan memperkuat pertahanan negara serta meningkatkan profesionalisme TNI. Namun mata masyarakat juga melihat dan menilai bahwa ada sejumlah poin di dalamnya yang turut menuai kontroversi.

Isu utama yang diperdebatkan meliputi penempatan prajurit aktif di jabatan sipil dan perluasan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Kritik juga muncul terkait proses pembahasan yang dinilai kurang transparan.

Latar Belakang Revisi RUU TNI

Pembahasan RUU TNI dilakukan oleh DPR RI dan pemerintah di Jakarta pada pertengahan Maret 2025. Revisi ini berawal dari usulan pemerintah yang tertuang dalam Surat Presiden RI Nomor R12/Pres/02/2025. Tujuannya adalah memperkuat pertahanan negara sekaligus meningkatkan profesionalisme TNI. Namun, kritik muncul karena dikhawatirkan revisi ini membuka kembali peluang dwifungsi ABRI. Dimana dahulu pernah dominan di era Orde Baru, serta melemahkan supremasi sipil.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TNI, Utut Adianto, menjelaskan bahwa ada tiga klaster utama yang menjadi fokus pembahasan:

  1. Kedudukan Kementerian Pertahanan dan TNI
  2. Perluasan penempatan prajurit aktif di instansi sipil
  3. Penyesuaian usia pensiun prajurit

Utut menegaskan bahwa pembahasan dilakukan secara detail, pasal demi pasal. Meskipun Menteri Pertahanan berharap RUU ini bisa segera disahkan dalam masa sidang ini, Utut menyatakan bahwa pengesahan tetap bergantung pada kesiapan pemerintah.

Baca Juga : DPR Siapkan RUU Tekstil di Tengah Gelombang PHK dan Penutupan Pabrik

Kesejahteraan Prajurit dan Pembiayaan TNI

Salah satu fokus utama revisi adalah peningkatan kesejahteraan prajurit. Dengan jumlah personel mencapai sekitar 485.000 orang, aspek pembiayaan menjadi pertimbangan penting. Pemerintah mengalokasikan lebih banyak pasal yang membahas kesejahteraan prajurit, sebagai bentuk komitmen dalam meningkatkan taraf hidup mereka.

Peningkatan kesejahteraan diharapkan dapat berkontribusi pada peningkatan moral dan profesionalisme prajurit. Namun, mekanisme peningkatan kesejahteraan dan sumber pendanaannya masih harus dikaji lebih lanjut untuk memastikan efektivitas dan transparansi anggaran. Pengawasan ketat juga diperlukan agar anggaran tersebut digunakan secara efisien dan mencegah potensi penyimpangan.

Baca Juga : Agenda DPR: Rapat Parripurna Pengesahan Revisi UU Minerba

Perluasan Operasi Militer Selain Perang (OMSP)

RUU TNI mengusulkan penambahan jenis OMSP dari 14 menjadi 17, dengan dua jenis operasi tambahan yaitu operasi siber dan penanganan masalah narkoba. Pelaksanaan operasi tambahan ini nantinya akan diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) guna menghindari tumpang tindih kewenangan dengan institusi lain.

Namun, usulan ini memicu perdebatan. Beberapa pihak menilai bahwa perluasan OMSP berisiko membuka celah penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, mekanisme pengawasan yang kuat diperlukan agar operasi-operasi tersebut berjalan sesuai aturan dan tidak melanggar hak asasi manusia.

Baca Juga : Gaes !!! DPR Tolak Usulan RUU Larangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing

Penempatan Prajurit Aktif di Jabatan Sipil: Titik Kontroversial

Salah satu poin paling kontroversial dalam revisi RUU TNI adalah perubahan Pasal 47, yang memungkinkan penempatan prajurit aktif di berbagai kementerian dan lembaga negara, termasuk instansi yang berkaitan dengan politik dan keamanan. Jumlah lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif meningkat dari 10 menjadi 15.

Usulan ini menuai kritik tajam karena dikhawatirkan dapat menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, yang selama Orde Baru menyebabkan militer memiliki peran ganda dalam bidang pertahanan dan pemerintahan sipil. Kritikus juga menilai bahwa hal ini berpotensi melemahkan supremasi sipil dalam tata kelola negara.

Pemerintah menyatakan bahwa penempatan prajurit aktif di jabatan sipil akan diatur dengan mekanisme ketat agar sesuai dengan kebutuhan nasional dan tidak mengganggu netralitas TNI. Namun, detail mekanisme ini masih belum jelas.

Kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil

Koalisi masyarakat sipil menyuarakan kritik terhadap kurangnya transparansi dalam proses pembahasan RUU ini. Mereka meminta agar partisipasi publik lebih ditingkatkan guna memastikan bahwa revisi ini tidak melanggar prinsip demokrasi.

Mereka juga menyoroti keberadaan Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) di Kejaksaan Agung, yang dianggap tidak perlu. Kritikus berpendapat bahwa peran prajurit aktif dalam institusi penegak hukum dapat menimbulkan konflik kepentingan. Sebagai contoh, Ikhsan, salah satu anggota koalisi, menegaskan bahwa:

“Untuk di Kejaksaan Agung, penempatan ini tidak tepat karena fungsi TNI sejatinya adalah sebagai alat pertahanan negara, sementara Kejaksaan adalah aparat penegak hukum. Perwira TNI aktif yang menjabat di Kejaksaan Agung seharusnya mengundurkan diri terlebih dahulu.”

Selain itu, Ikhsan menyoroti masalah peradilan koneksitas, yang kerap menjadi sarana impunitas bagi oknum militer. Menurutnya, penyelesaian perkara koneksitas bisa dilakukan secara ad hoc tanpa harus menjadikannya jabatan permanen.

Kesimpulan

RUU TNI menghadirkan berbagai perubahan yang bertujuan memperkuat pertahanan negara dan meningkatkan kesejahteraan prajurit. Namun, beberapa poin dalam revisi ini masih menjadi perdebatan, terutama terkait penempatan prajurit aktif di jabatan sipil dan perluasan OMSP. (Aye)

Baca Juga Artikel Berita Lain dari Suaragong di Google News

Tags:

You Might also Like

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *