Type to search

Gaya Hidup

Gaes !!! Seberapa Penting Work-Life Balance?

Share
Jujur aja, di zaman sekarang, “work-life balance” bukan lagi sekadar tren, tapi kebutuhan nyata. Berikut ulasannya.

SUARAGONG.COM Jujur aja, di zaman sekarang, “work-life balance” bukan lagi sekadar tren, tapi kebutuhan nyata. Ada masa-masa di hidup saya ketika keseimbangan antara kerja dan hidup pribadi benar-benar kacau. Saya sibuk mengejar target dan tenggat waktu, sampai rasanya waktu 24 jam sehari nggak pernah cukup. Awalnya sih semangat, tapi nggak lama, saya mulai merasakan efeknya: gampang marah, selalu capek, dan jujur aja, hampir burn out. Sampai akhirnya, saya sadar kalau ini bukan cara hidup yang sehat atau berkelanjutan.

Ternyata, work-life balance itu lebih dari sekadar slogan keren. Dari pengalaman saya, kerja memang penting, tapi mempertahankan energi dan kesehatan mental sama pentingnya. Kalau udah terlalu fokus di pekerjaan, sisi lain hidup bisa terabaikan – hobi, keluarga, teman, bahkan waktu untuk diri sendiri. Padahal, semua itu penting banget buat membuat hidup kita lebih utuh.

Ada satu pelajaran besar yang saya dapat waktu itu: ketika kita terlalu banyak menghabiskan waktu untuk kerja, tanpa sadar kualitas kerja juga jadi menurun. Kecepatan kerja mungkin tetap sama, tapi lama-lama ide baru nggak muncul, kreativitas seret, dan energi terus terkuras. Keseimbangan antara hidup dan kerja bukan cuma soal menjaga kesehatan mental, tapi juga menjaga produktivitas tetap stabil.

Nah, dari pengalaman ini, saya mulai mencoba beberapa cara untuk mengatur waktu dan memastikan ada waktu yang cukup buat istirahat, keluarga, dan hobi. Sederhana aja, nggak perlu teknik manajemen waktu yang rumit. Salah satunya, saya mencoba menerapkan “batas waktu” setiap hari untuk berhenti bekerja. Dulu, saya terbiasa membawa pekerjaan sampai malam. Tapi sekarang, setelah jam kerja selesai, saya tutup laptop, taruh ponsel, dan fokus ke kegiatan lain. Percaya atau nggak, efeknya luar biasa. Tidur jadi lebih nyenyak, dan keesokan harinya saya bisa kembali kerja dengan energi penuh.

Selain itu, penting juga buat tetap punya waktu buat diri sendiri. Mungkin sesekali ambil cuti untuk rehat sejenak dari rutinitas, atau sekadar melakukan hal-hal yang kita sukai, seperti berkebun, membaca, atau olahraga ringan. Ada istilah “disconnect to reconnect,” yang artinya kadang kita perlu melepaskan diri dari pekerjaan atau teknologi biar bisa terhubung kembali dengan diri sendiri dan orang-orang di sekitar.

Baca juga : Kenapa Orang Memilih Slow Living?

Tapi, saya juga paham bahwa work-life balance nggak selalu mudah didapatkan, apalagi di pekerjaan yang sangat menuntut. Satu hal yang bisa dilakukan adalah komunikasikan kebutuhan ini ke tim atau atasan. Kalau saya, ketika beban kerja lagi tinggi, saya coba bilang ke manajer tentang batasan yang saya buat, dan untungnya, tim cukup mendukung. Dengan transparansi ini, tekanan kerja bisa sedikit berkurang karena semua orang jadi tahu kapan kita siap atau kapan perlu waktu istirahat.

Selain itu, saya juga sadar bahwa work-life balance tiap orang beda-beda, tergantung prioritas dan kebutuhan masing-masing. Bagi sebagian orang, mungkin lebih nyaman bekerja lebih lama, asalkan tetap punya akhir pekan yang benar-benar bebas kerja. Bagi yang lain, jadwal yang lebih teratur setiap harinya bisa jadi pilihan terbaik.

Di akhir hari, work-life balance bukan cuma soal menyeimbangkan jam kerja dengan jam istirahat, tapi soal bagaimana kita menjaga kesehatan mental, fisik, dan emosional tetap stabil. Work-life balance bikin kita bisa jadi pribadi yang lebih baik, lebih produktif, dan lebih bahagia. Dan yang paling penting, kita nggak sekadar bekerja untuk hidup, tapi benar-benar menikmati hidup yang kita jalani. (acs)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *