SUARAGONG.COM – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengonfirmasi rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan berlaku mulai Januari 2025. Kebijakan ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah disahkan sebelumnya.
Dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI pekan lalu, Sri Mulyani menekankan bahwa langkah ini penting untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), meskipun harus dilakukan secara terencana dan hati-hati. Ia juga menegaskan perlunya edukasi kepada masyarakat untuk memastikan pemahaman yang baik terkait dampak positif dari kebijakan tersebut.
“Ini bukan langkah membabi buta, tetapi bagian dari upaya menjaga stabilitas keuangan negara,” ujar Sri Mulyani.
PPN Indonesia di ASEAN: Menyusul Filipina
Jika tarif 12% diterapkan, Indonesia akan sejajar dengan Filipina sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN. Berdasarkan data PricewaterhouseCoopers (PwC), PPN Indonesia saat ini berada di 11%, lebih tinggi dibanding mayoritas negara tetangga.
Perbandingan tarif PPN/VAT di ASEAN (2024):
- Filipina: 12%
- Indonesia: 11%
- Vietnam & Kamboja: 10%
- Singapura: 9%
- Malaysia: 8%
- Thailand & Laos: 7%
- Myanmar: 5%
- Timor Leste: 2,5%
Beberapa negara seperti Malaysia telah menaikkan tarif PPN mereka tahun ini, sementara negara lain seperti Thailand masih mempertahankan tarif yang relatif rendah.
Baca juga : Apa Artinya Kenaikan PPN Menjadi 12%?
Kekhawatiran Daya Beli
Namun, kebijakan ini memicu kekhawatiran terhadap daya beli masyarakat. Guru Besar Ilmu Ekonomi Moneter Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty, mengingatkan bahwa kenaikan PPN dapat memperburuk tekanan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
“Pemerintah harus berhati-hati. Penundaan bisa menjadi opsi sampai daya beli masyarakat membaik,” kata Telisa. Ia juga menyarankan upaya menciptakan lapangan kerja berkualitas dan meningkatkan kesejahteraan pekerja sebelum menerapkan kebijakan ini.
Kenaikan PPN menjadi 12% menjadi salah satu langkah besar yang dihadapi pemerintah untuk memastikan keberlanjutan fiskal tanpa mengorbankan konsumsi rumah tangga, yang merupakan pilar utama ekonomi nasional. Sri Mulyani dan pemerintah perlu mengelola kebijakan ini dengan cermat, disertai komunikasi publik yang efektif untuk menjaga kepercayaan masyarakat.
Apakah langkah ini menjadi solusi atau justru memunculkan tantangan baru? Yang jelas, penerapannya membutuhkan pendekatan yang matang dan hati-hati. (acs)
Baca berita terupdate kami lainnya melalui google news