Terjerat Kasus Dugaan Korupsi Tanah, Mantan Dirut Polinema Maju Praperadilan
Share

SUARAGONG.COM – Kasus pengadaan lahan untuk perluasan kampus Politeknik Negeri Malang (Polinema) kini memasuki babak baru. Setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim), mantan Direktur (Dirut) Polinema periode 2017–2021, Awan Setiawan, tidak tinggal diam. Melalui kuasa hukumnya, Didik Lestariyono, EX-Dirut Polinema tersebut menyatakan akan mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya tersangka dalam kasus dugaan korupsi tanah ini. Di mana ia menilai tindakan tersebut terlalu tergesa-gesa dan tidak berdasar pada audit resmi kerugian negara.
Mantan Dirut Polinema Terjerat Kasus Dugaan Korupsi Lahan Tanah
Lahan seluas 7.104 meter persegi yang dibeli Polinema terletak di Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Lahan itu dinilai strategis dan berada di samping aset kampus yang sudah ada. Tanah tersebut dibeli dengan harga Rp 6 juta per meter, sehingga total anggaran yang dikeluarkan mencapai Rp 42,6 miliar.
Menurut kuasa hukum Awan, proses pengadaan tanah sudah mengikuti prosedur regulasi, berdasarkan Rencana Induk Pengembangan (RIP) Polinema 2010–2034. Semua tahapan dilakukan oleh Tim Pengadaan Tanah atau Tim 9 yang dibentuk melalui Surat Keputusan Direktur. Proses ini, kata Didik, telah melalui penilaian harga dari kelurahan, kecamatan, dan BPN.
“Kami tidak pernah berhubungan langsung dengan pemilik tanah. Semuanya ditangani tim resmi,” ujar Didik.
Baca Juga : Mengintip Korupsi Chromebook Rp9,9 Triliun di Kemendikbudristek
Penetapan Tersangka Dinilai Prematur
Pihak Awan menyayangkan langkah Kejati yang menetapkan kliennya sebagai tersangka tanpa hasil audit resmi dari BPK atau BPKP. Didik menyebut bahwa satu-satunya bukti kerugian negara berasal dari laporan Inspektorat.
“Penetapan tersangka seharusnya berdasarkan audit resmi. Inspektorat tidak memiliki kewenangan menyatakan adanya kerugian negara,” tambahnya.
Didik juga menyebut bahwa negara justru telah menerima aset berupa tanah yang kini sah tercatat sebagai Barang Milik Negara (BMN). Bahkan, transaksi tersebut telah disahkan secara hukum perdata oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi atas gugatan dari pihak penjual, Hadi Setiawan.
“Kalau negara sudah dapat tanah dan tidak ada kerugian, di mana letak korupsinya?” tanya Didik.
Baca Juga : Kejagung Geledah Apartemen Pegawai Kemendikbud Terkait korupsi DIgitalisasi
Penahanan dan Dugaan Kejanggalan
Pada Rabu malam (11/6), Kejati Jatim resmi menahan dua tersangka, Awan Setiawan dan Hadi Setiawan (pemilik tanah). Keduanya dituduh merugikan negara hingga Rp 42 miliar, dan dijerat dengan pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU Tipikor. Ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara.
Aspidsus Kejati Jatim, Saiful Bahri, mengungkap bahwa pengadaan tanah dilakukan tanpa panitia resmi di tahun 2019, dan baru dibentuk pada 2020 setelah harga sudah disepakati. Harga ditentukan tanpa appraisal independen, dan uang muka Rp 3,8 miliar disebut dibayarkan sebelum ada surat kuasa jual dari Hadi.
Lebih lanjut, pada 2021, Awan disebut memerintahkan pembayaran Rp 22,6 miliar meski belum ada akuisisi hak atas tanah.
“Pembayaran seolah-olah lunas dalam satu tahun anggaran, padahal tidak ada perolehan aset yang jelas di dalam DIPA,” jelas Saiful.
Yang mengejutkan, setelah dilakukan appraisal ulang, tanah tersebut ternyata sebagian besar tidak bisa digunakan karena berada dekat sempadan sungai. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah benar lahan itu layak dan sudah melalui penilaian matang sejak awal? (Aye/sg)