Kenapa Tiba-tiba Toba Pulp Lestari Jadi Sorotan?
Share
SUARAGONG.COM – Beberapa waktu belakangan di media sosial dan pemberitaan, muncul tuduhan serius ke Toba Pulp Lestari sering disingkat TPL. Soalnya, ada dugaan bahwa aktivitas perusahaan pulp kertas ini turut menyumbang penyebab banjir bandang dan longsor. Di wilayah Sumatra khususnya di kawasan hulu sungai dan hutan kritis.
Menurut penggiat lingkungan seperti WALHI Sumatera Utara, selain TPL, ada juga deforestasi, eksploitasi lahan dari HTI (Hutan Tanaman Industri), proyek PLTA, dan pertambangan yang dianggap merusak ekosistem. Aktivitas-aktivitas itu disebut mengganggu daya tampung alam, sehingga ketika hujan deras air nggak tertahan, akhirnya jadi banjir dan longsor.
Biarpun opini publik dan lingkungan ramai menyorot. TPL pun akhirnya buka suara ke publik lewat pernyataan resmi ke Bursa Efek Indonesia (BEI), karena perusahaan ini terdaftar di bursa.
Bagaimana Klarifikasi Toba Pulp Lestari?
Dalam surat resmi yang dikirim ke BEI, TPL menyatakan dengan tegas bahwa tudingan mereka sebagai penyebab bencana ekologis adalah tidak berdasar. Beberapa poin utama dari klarifikasi mereka:
- Luas konsesi TPL tercata 167.912 hektare. Tetapi hanya sektiar 46.000 hektare yang digunakan untuk penanaman eucalyptus, sisanya dianggap sebagai area konservasi atau kawasan lindung.
- Semua operasional termasuk pemanenan dan penanaman kembali diklaim berjalan sesuai prosedur berdasarkan izin. Rencana kerja umum dan rencana kerja tahunan, sesuai tata ruang dan dilaporkan dalam dokumen Amdal.
- Sejak 2018, mereka juga mengklaim telah memperbarui pabrik dengan teknologi ramah lingkungan, demi meninimalkan dampak lingkungan.
- Terakhir, audit dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2022-2023. Menyatakan bahwa TPL taat regulasi dan tidak ditemukan pelanggaran lingkungan maupun sosial.
TPL juga bilang bahwa selama lebih dari 30 tahun beroperasi. Mereka menjaga komunikasi terbuka lewat dialog, sosialisasi, dan kemitraan dengan pemerintah, masyarakat adat, tokoh masyarakat, akademisi, dan organisasi sipil sebagai bentuk transparansi. Dengan kata lain TPL klaim bahwa klaim TPL penyebab banjir itu terlalu buru-buru dan belum berdasarkan data yang valid.
Baca juga: Elon Musk Gratiskan Starlink untuk Wilayah Terdampak Banjir Sumatra
Tapi Kenapa Banyak yang Masih Meragukan?
Gak semua orang serta-merta percaya klarifikasi TPL. Ada beberapa hal yang bikin argumen penuduh tetap relevan:
- Organisasi lingkungan seperti WALHI dan aktivis lingkungan menyebut bahwa deforestasi. Terutama di kawasan hulu sungai dan zona kritis, memang bisa bikin kondisi alam jadi rapuh. Lebih rentan longsor dan banjir saat hujan deras.
- Menurut pengamat lingkungan, bukan cuma satu perusahaan saja ada kombinasi beberapa faktor konversi lahan hutan ke HTI, pertambangan, PLTA, hingga eksploitasi lahan yang bersama-sama melemahkan daya serap dan daya tampung air di alam.
- Isu transparansi dan histori konflik lahan di kawasan tertentu terutama kawasan konsesi di utara Sumatera membuat warga dan masyarakat adat tetap was-was terhadap potensi dampak jangka panjang.
Belum lagi, penilaian independen terhadap kinerja lingkungan dan sosial perusahaan sering disebut sebagai aspek ESG (Environmental, Social, Governance) dianggap penting supaya tudingan tidak cuma berdasarkan opini, tetapi data. Dan ini membawa kita ke poin selanjutnya.
Baca juga: ESDM Sebut Cuaca Ekstrem Jadi Penyebab Banjir Sumatra
Evaluasi ESG & Peluang Transparansi Siapa yang Pantau?
Seiring dengan makin panasnya kontroversi, banyak pihak mendesak agar kinerja lingkungan dan sosial TPL dievaluasi oleh pihak ketiga bukan cuma klaim perusahaan. Dalam liputan terbaru disebut bahwa pihak penilai ESG bisa evaluasi kinerja Toba Pulp Lestari.
Kenapa penting? Karena ESG bukan cuma soal apa yang dikatakan perusahaan, tapi apa yang dibuktikan lewat data dan dampak nyata. Kalau penilaian ESG independen dilakukan mencakup aspek konservasi, restorasi, dampak terhadap lingkungan & komunitas maka publik bisa punya gambaran lebih objektif apakah perusahaan benar-benar taat atau cuma klaim belaka.
Di laporan keberlanjutan terakhir TPL (2024), disebut bahwa evaluasi dewan komisaris dan direksi juga mempertimbangkan dinamika ekonomi nasional dan industri pulp artinya aspek keberlanjutan mulai dianggap bagian dari strategi perusahaan.
Tapi tentu aja reputasi ESG bisa goyah kalau ada bencana lingkungan besar seperti banjir Sumatra yang dipicu oleh perubahan tata guna lahan. Makanya banyak pihak menganggap sekarang adalah momentum penting bagi transparansi dan audit independen.
Baca juga: Kemkomdigi Siapkan Internet Darurat SATRIA-1 di Titik Bencana Sumatra
Gimana Sih Seharusnya Publik Ngaruh?
Oke, ini intisarinya:
- TPL sudah buka suara mereka bantah jadi penyebab banjir, tunjuk data konsesi dan audit lingkungan.
- Tuduhan datang dari aktivis dan lingkungan deforestasi, alih fungsi hutan, eksploitasi lahan bisa melemahkan daya tampung air di ekosistem. Jadi wajar kalau banyak orang khawatir.
- Karena itu, penilaian independen lewat mekanisme ESG sangat penting. Supaya kita gak cuma pasang telinga tapi juga lihat bukti nyata.
- Krisis ini bisa jadi pelajaran besar, perusahaan besar dan konsesi luas harus lebih transparan soal dampak lingkungan dan sosial, bukan cuma profit dan produksi. (dny)

