Type to search

Probolinggo

Menengok Tradisi Idul Adha Aboge di Leces: Kesederhanaan dalam Keberagaman

Share
Tradisi Idul Adha Aboge di Leces

Probolinggo, Suaragong.com  – Tradisi Idul Adha Aboge di Leces, suasana pagi di Dusun Krajan, Desa Leces, Kabupaten Probolinggo, Minggu (8/6/2025) tampak berbeda. 

Sholat Ied 2025, Perhitungan Aboge Jatuh Pada Hari Ahad

Tanpa kemeriahan yang mencolok, warga Islam penganut tradisi Aboge (Alif Rebo Wage) berjalan tenang menuju Musala Al-Barokah.

Mereka membawa tampah dan rantang berisi makanan, bersiap menunaikan salat Idul Adha yang jatuh menurut hitungan mereka pada Ahad Legi, berbeda dari kalender hijriah nasional.

“Ini bukan hal baru bagi kami. Sejak zaman nenek moyang, memang begini caranya,” ujar Usman, warga setempat.

 “Kami menjalani keyakinan ini bukan untuk membedakan diri, tapi sebagai bagian dari tradisi.”

Salat Id dilaksanakan pukul 06.30 WIB dengan format dua rakaat dan takbir tambahan seperti lazimnya. Namun, nuansa khidmat sangat terasa, terlebih karena tahun ini tidak ada hewan kurban yang disembelih. 

Belum Sanggup Beli Kambing, Kebersamaan Menjadi Simbol Hari Raya

“Kami belum sanggup beli kambing, tapi kebersamaan tetap kami jaga,” lanjut Usman.

Usai salat, warga duduk bersama menikmati hidangan sederhana seperti nasi jagung, urap, dan tempe bacem. 

Kebersamaan menggantikan simbol kurban, dan semangat Idul Adha tetap terasa hangat meski tanpa darah hewan kurban.

Kyai Buri Mariyah, tokoh agama setempat, menjelaskan bahwa sistem Aboge menggunakan hitungan pasaran Jawa berdasarkan warisan leluhur. 

“Tahun ini 1 Zulhijah jatuh pada Jumat Pahing, jadi 10 Zulhijah tepat Ahad Legi. Ini bukan sekadar kalender, tapi bagian dari filosofi hidup kami,” jelasnya.

Tradisi ini tidak hanya hidup di Leces, tetapi juga di Bantaran, Dringu, dan Tegalsiwalan. 

Tradisi Idul Adha Aboge di Leces: Praktik Islam yang Bersinergi dengan Budaya Lokal

Menurut Prof. Dr. Mudjahirin Thohir dari Universitas Diponegoro, praktik Aboge merupakan bentuk Islam yang bersinergi dengan budaya lokal. 

“Ini bukan penyimpangan, melainkan bukti Islam Nusantara yang toleran dan adaptif,” terangnya.

Meskipun berbeda hari, masyarakat Aboge tetap menjalin hubungan harmonis dengan umat Islam lain. 

“Kami saling menghormati, tidak pernah ada gesekan,” ujar Kyai Mariyah.

Ketika faktor ekonomi menghalangi pelaksanaan kurban, jemaah Aboge tetap menunjukkan makna pengorbanan melalui berbagi makanan dan menjaga silaturahmi. 

Ustaz Ahmad Yazid menyatakan, “Berbagi dari yang kita punya dan menjaga warisan leluhur secara damai juga bentuk ibadah.”

Tradisi ini terus dijaga di tengah arus modernisasi, dengan generasi muda mulai mendokumentasikan dan mempelajari sistem Sarapatji. 

Di tengah globalisasi, Islam Aboge di Leces menjadi simbol kebersamaan, keteguhan tradisi, dan harmoni yang tak lekang oleh waktu.(Adj)

Baca Juga Artikel Berita Lain dari Suaragong di Google News

Tags:

You Might also Like

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *