UI Minta Maaf, Akui Kurang Cermat Undang Akademikus Pro Zionisme
Share

SUARAGONG.COM – Universitas Indonesia (UI) jadi sorotan publik akhir pekan ini setelah mengundang akademikus asal Stanford, Peter Berkowitz, yang dikenal sebagai pendukung zionisme, untuk memberi orasi ilmiah di acara Pengenalan Sistem Akademik Universitas Program Pascasarjana UI 2025, Sabtu (23/8/2025).
UI Minta Maaf, Akui Salah Undang Akademikus Pro Zionisme
Langkah ini memicu kontroversi, mengingat Indonesia punya sikap politik luar negeri yang jelas: menolak segala bentuk penjajahan, termasuk mendukung penuh perjuangan rakyat Palestina. Publik pun mempertanyakan bagaimana kampus sebesar UI bisa kecolongan dalam melakukan seleksi pembicara.
Menyadari situasi semakin panas, pihak UI langsung angkat bicara. Melalui Direktur Humas, Media, Pemerintah, dan Internasional UI, Arie Afriansyah, kampus kuning itu menyampaikan permintaan maaf resmi.
“Dengan segala kerendahan hati, UI mengakui kurang hati-hati, dan untuk itu meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat Indonesia atas kekhilafan dalam kekurangcermatan saat melakukan background check,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (24/8/2025).
Baca juga : Berikut 10 Universitas Terbaik di Inggris, Cocok Untuk S1 dan S2
Pemilihan Tamu Undangan Murni Untuk Alasan Akademis
Menurut Arie, pemilihan Berkowitz sebenarnya murni untuk alasan akademis. Pihak UI menganggap ia bersama pembicara lain, Sigit P. Santosa, merupakan sosok yang relevan dalam bidangnya. Ia menegaskan, isi orasi Berkowitz pun hanya sesuai dengan tema yang diberikan, tanpa menyinggung isu politik. “Orasi selengkapnya bisa dilihat di kanal YouTube resmi UI, dan di sana murni terkait topik akademik,” tambahnya.
Meski begitu, kritik tetap berdatangan. Publik menilai kampus sebesar UI seharusnya lebih sensitif, apalagi terkait isu Palestina–Israel yang punya posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia. Pemerhati kebijakan publik sekaligus ekonom dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menegaskan bahwa kebebasan akademik memang penting, tapi tidak boleh dilepaskan dari nilai dasar kemanusiaan.
“Konstitusi kita jelas menegaskan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Jadi mengundang figur yang menormalisasi kekuasaan koersif Israel sama saja memberi kesan UI rela mengaburkan batas etis demi sensasi intelektual,” ujarnya.
Tindak Lanjut Kasus ini
Achmad bahkan menyarankan agar UI menindaklanjuti kasus ini dengan menggelar semacam public teach-in. Tema yang bisa dibahas misalnya hukum humaniter internasional, sejarah kolonialisme modern, hingga kesaksian para penyintas. Dengan begitu, UI tidak hanya meminta maaf, tapi juga menunjukkan keberpihakan nyata pada nilai-nilai kemanusiaan. “Beri panggung narasi korban. Tunjukkan bahwa UI mengerti perbedaan antara platforming yang memberi legitimasi dan scholarly debate yang memberi pencerahan,” tambahnya.
Pihak UI sendiri menegaskan tetap konsisten mendukung perjuangan rakyat Palestina. Arie mengingatkan bahwa pada Januari 2025 lalu, Rektor UI sudah menyampaikan dukungan penuh terhadap kemerdekaan Palestina saat menerima kunjungan Duta Besar Palestina.
Insiden ini pada akhirnya jadi catatan penting bagi UI. Di satu sisi, kampus harus menjaga tradisi akademik yang terbuka pada ragam pemikiran. Namun di sisi lain, UI juga tidak bisa lepas dari pijakan etis dan politik luar negeri Indonesia yang menolak segala bentuk penjajahan.
Permintaan maaf ini mungkin menutup polemik sementara. Tapi publik akan menunggu langkah nyata berikutnya: apakah UI benar-benar belajar, atau justru mengulang kesalahan serupa di masa depan. (Aye)