Wahyu Makutharama, Cermin Kepemimpinan Sejati di HUT ke-24 Kota Batu
Share

SUARAGONG.COM – Perayaan HUT ke-24 Kota Batu berlangsung berbeda tahun ini. Bukan sekadar pesta dan upacara seremonial, tapi juga perenungan makna kepemimpinan melalui pagelaran wayang kulit lakon Wahyu Makutharama, yang digelar di pelataran Balai Kota Among Tani, Jumat malam (17/10/2025).
Pagelaran Wayang Kulit Lakon Wahyu Makutharama di Perayaan HUT Ke-24 Kota Batu
Ribuan warga tampak memenuhi area perayaan. Di bawah cahaya rembulan dan hembusan angin lembut khas Kota Batu, layar putih berdiri megah ditemani gamelan, sinden, dan dua dalang kondang asal Tulungagung, Ki Minto Darsono dan Ki Thatit Kusuma Wibhatsu.
Pagelaran wayang semalam suntuk ini digelar oleh Dinas Pariwisata (Disparta) Kota Batu, menggandeng Campursari Sekar Gadung, serta menghadirkan bintang tamu Jo Klithik dan Jo Kluthuk.
Acara diawali dengan penyerahan gunungan oleh Wali Kota Batu Nurochman kepada dalang, sebagai simbol pembuka pertunjukan dan doa agar “wahyu kepemimpinan” senantiasa menaungi Kota Batu.
“Lakon yang dibawakan malam ini adalah Wahyu Makutharama, menceritakan tentang wahyu ratu — wahyu kepemimpinan sejati. Cerita ini mengajarkan makna luhur tentang bagaimana seorang pemimpin harus bersikap dengan laku yang disebut Hastha Brata,” jelas Kepala Disparta Kota Batu, Onny Ardianto.
Baca Juga :HUT ke-24 Kota Batu, Pentas Padhang Bulan Suguhkan Pertunjukan Epic
Kisah Yang Disampaikan
Lakon Wahyu Makutharama mengisahkan turunnya cahaya suci dari kahyangan — wahyu keprabon. Penanda kepemimpinan sejati yang menjadi rebutan para ksatria. Namun, Arjuna datang dengan cara berbeda: tanpa pasukan, tanpa teriakan. Ia hanya bertapa dalam keheningan, menaklukkan egonya sendiri.
Ketika wahyu turun menyilaukan bumi, para ksatria lain gagal meraihnya karena terbakar ambisi. Hanya Arjuna yang bersila tenang, hingga sinar suci itu menyatu dalam dirinya. Saat itulah Batara Kresna memberi wejangan Hastha Brata — delapan laku kepemimpinan yang menjadi dasar moral seorang raja.
Pemimpin sejati, kata Kresna, harus seperti:
- Matahari yang memberi kehidupan tanpa pilih kasih,
- Bulan yang meneduhkan dalam gelap,
- Samudra yang luas menampung segalanya,
- Gunung yang teguh menjadi sandaran rakyatnya,
- Api yang tegas menegakkan kebenaran,
- Angin yang hadir di mana-mana tanpa terlihat,
- Bumi yang tetap subur meski diinjak, dan
- Mendung yang mampu menampung masukan sebelum menurunkan hujan kebijakan.
“Delapan sifat itulah Hastha Brata, dari kata hastha berarti delapan dan brata berarti laku. Maknanya masih sangat relevan bagi siapa pun yang diberi amanah memimpin,” lanjut Onny.
Menurutnya, kisah ini bukan sekadar tentang perebutan kuasa, melainkan cermin kehidupan bahwa kepemimpinan sejati lahir dari ketulusan dan pengendalian diri, bukan dari garis darah atau ambisi jabatan.
“Melalui pagelaran ini, kami ingin masyarakat menikmati kesenian sekaligus belajar dari nilai-nilai luhur yang ada di dalamnya,” tambah Onny.
Wali Kota Batu Nurochman turut menegaskan makna filosofi di balik lakon tersebut.
“Kepemimpinan sejati lahir dari kesabaran dan pengendalian diri, bukan dari keinginan untuk berkuasa. Wahyu Makutharama adalah cermin perjalanan kepemimpinan di dunia nyata,” ujarnya.
Melalui cara yang lembut dan estetis, pagelaran ini menjadi bukti bahwa wayang bukan sekadar tontonan, tapi juga tuntunan. Di tengah kemajuan zaman, Kota Batu memilih merayakan hari jadinya dengan merenungi nilai-nilai kepemimpinan — sebagaimana Arjuna yang menemukan wahyunya bukan dengan kekuatan, tapi dengan kebeningan hati. (MF/Aye)