Menelusuri Warisan Budaya dan Arkeologi di Gunung Argopuro Probolinggo
Share

SUARAGONG.COM – Gunung Argopuro di Kabupaten Probolinggo bukan sekadar gugusan pegunungan dengan panorama alam yang menawan. Di balik hamparan hutan dan jalur pendakiannya yang terpanjang di Pulau Jawa, tersembunyi kekayaan sejarah dan budaya yang masih belum banyak tergali. Keberadaan situs-situs arkeologi seperti Candi Belik, Sendang Dewi Rengganis, dan reruntuhan bangunan kuno di wilayah ini menjadi saksi bisu perjalanan panjang peradaban masa lampau di Jawa Timur.
Historis Panjang yang Tertanam di Gunung Argopuro Probolinggo
Argopuro memiliki nilai penting dalam konteks sejarah Majapahit dan kerajaan-kerajaan lokal di masa silam. Nama Dewi Rengganis, yang sering dikaitkan dengan kawasan ini, menjadi bukti adanya narasi legendaris yang terus diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat sekitar. Meski demikian, hingga kini belum banyak penelitian yang secara komprehensif mengungkap lapisan-lapisan sejarah di balik cerita-cerita rakyat tersebut.

Taman Hidup Gunung Argopuro (Facebook)
Keberadaan Candi Belik dan Peninggalan Arkeologis di Sekitarnya
Salah satu situs yang mencuri perhatian adalah Candi Belik. Bangunan ini berada di wilayah Desa Bermi, Kecamatan Krucil. Meski kondisinya kini sudah tidak utuh, struktur candi yang tersisa menunjukkan pola konstruksi khas masa Hindu-Buddha dengan penggunaan batu andesit yang dipahat rapi. Belum banyak kajian akademik yang menelusuri fungsi asli dari candi ini, apakah sebagai tempat peribadatan, penanda wilayah kekuasaan, atau pusat kegiatan spiritual.
Di dekat Candi Belik terdapat beberapa struktur berbentuk petirtaan atau kolam suci yang diyakini dahulu digunakan untuk kegiatan ritual. Salah satunya adalah Sendang Dewi Rengganis yang hingga kini masih digunakan masyarakat sebagai sumber air. Dalam tradisi lisan, sendang ini dianggap keramat dan dipercaya sebagai tempat pertapaan tokoh perempuan legendaris bernama Rengganis.
Arkeolog Dr. Agus Aris Munandar dari Universitas Indonesia pernah menyampaikan bahwa situs-situs seperti ini memiliki korelasi dengan pusat kekuasaan kuno. Dalam banyak kasus, tempat-tempat dengan nama tokoh mitologis perempuan biasanya terkait dengan pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti Kediri, Singhasari, hingga Majapahit.
Baca Juga : Gaes !!! 10 Geopark di Indonesia Yang Diakui UNESCO
Ancaman terhadap Kelestarian dan Minimnya Pelestarian Situs
Sayangnya, keberadaan situs-situs ini belum sepenuhnya terlindungi secara hukum maupun fisik. Banyak dari bangunan kuno yang telah rusak karena faktor alam, vandalisme, maupun aktivitas manusia yang tidak memahami nilai historis kawasan ini. Minimnya informasi dan dokumentasi menyebabkan masyarakat sekitar kurang menyadari pentingnya menjaga warisan budaya tersebut.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan narasumber dalam transkrip seminar yang menyebutkan bahwa banyak artefak ditemukan namun tidak tercatat, bahkan tak jarang disimpan pribadi atau diperjualbelikan. Tindakan ini berpotensi besar merusak konteks arkeologis dan menghilangkan informasi penting yang dapat mengungkap masa lalu kawasan Argopuro.
Sebagai contoh, artefak berupa arca, bata kuno, serta keramik yang ditemukan di jalur pendakian sering kali tidak dilaporkan ke instansi terkait. Masyarakat yang menemukannya juga tidak mendapatkan edukasi memadai tentang prosedur penanganan benda cagar budaya. Kurangnya intervensi dari pemerintah daerah maupun pusat menjadikan pelestarian situs arkeologi di kawasan ini belum optimal.
Baca Juga : Hidangan Om Ali: Kelezatan Manis khas Mesir dengan Sejarah Kelam
Peluang Pengembangan Edukasi Sejarah dan Wisata Budaya
Meski menghadapi berbagai tantangan, kawasan Argopuro sebenarnya menyimpan potensi besar untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata sejarah dan budaya yang berkelanjutan. Kombinasi antara keindahan alam, kisah legenda Rengganis, serta situs-situs arkeologi yang masih tersebar, dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan maupun peneliti.
Beberapa desa seperti Desa Bermi dan Desa Tambelang sudah mulai menunjukkan inisiatif lokal untuk mempromosikan kekayaan budaya mereka melalui festival rakyat dan kegiatan pelestarian berbasis komunitas. Namun, untuk menjangkau skala yang lebih luas, dibutuhkan sinergi antara pemerintah daerah, akademisi, komunitas arkeologi, dan pelaku wisata.
Menurut data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, hingga tahun 2023 tercatat lebih dari 1.500 situs arkeologi tersebar di Jawa Timur, namun hanya sebagian kecil yang dikelola dengan baik. Argopuro menjadi contoh bagaimana situs yang kaya sejarah dapat terabaikan jika tidak ada intervensi yang tepat.
Kesimpulan dan Harapan untuk Masa Depan Warisan Budaya Argopuro
Kawasan Argopuro di Probolinggo adalah contoh nyata bahwa warisan budaya tidak selalu berada di pusat kota atau lokasi populer. Di balik kesunyian hutan dan pegunungan, tersembunyi kisah sejarah yang menanti untuk diungkap. Dengan pendekatan yang tepat, kawasan ini dapat menjadi laboratorium hidup bagi studi arkeologi dan sejarah lokal. Bahkan hingga pengembangan ekonomi masyarakat melalui wisata budaya.
Perlu adanya kolaborasi aktif dari berbagai pihak untuk menyusun peta potensi arkeologi. Dilakukan pula dokumentasi sistematis, serta menyusun rencana pelestarian yang berbasis pada partisipasi masyarakat. Edukasi menjadi kunci utama agar masyarakat lokal merasa memiliki dan berperan aktif dalam menjaga warisan budaya mereka.
Jika potensi ini digarap secara serius, bukan tidak mungkin Argopuro akan dikenal bukan hanya sebagai jalur pendakian terpanjang di Jawa. Argopuro Sendiri dikenal juga sebagai pusat studi dan konservasi sejarah masa lampau yang berharga. (Duh/aye)