Malang, Suaragong – Dalam ilmu akuntansi, sunk cost, dimaknai sebuah biaya yang hangus pada periode masa lampau yang gagal diperbaiki. Selanjutnya fenomena ekonomi ini berkembang menjadi sunk cost fallacy, yaitu biaya yang hangus akibat kegagalan investasi.
Kegagalan pelaku ekonomi sebagai investor untuk “move on” disebabkan pengorbanan berupa biaya, tenaga, dan waktu untuk tindakan atau perilaku ekonomi yang diambil. Walaupun keputusan investasi telah dirasa kurang optimal setelah dianalisis.
Perihal baik ataupun buruk perilaku ekonomi tersebut, kembali pada analisis dan karakter subjek ekonom, yaitu terdapat dua tipikal yaitu investor atau trader.
Tipe trader beranggapan, peluang akan hilang dalam momen tersebut dikarenakan biaya yang hangus akan mempengaruhi kesempatan berinvestasi dengan harga lain yang lebih menguntungkan. Waktu yang instan dan transaksi yang cepat karena memanfaatkan momen singkat yang terjadi dalam mingguan dengan margin menjual saat harga naik.
Namun tipe investor akan melihat ini sebagai buah dari perilaku ekonomi berupa investasi yang memengaruhi mereka di masa depan. Hal ini disebabkan karena efek “bucinan” (butuh cinta red. ) rasa sayang berlebih atas investasi yang dilakukan. Dan berharap cinta tidak bertepuk sebelah tangan atau mendapatkan return yang tinggi atas pengorbanan investasi.
Baca juga : Ekonomi Kreatif: Pengertian, Jenis, Hingga Manfaatnya
Sebenarnya Sunk Cost fallacy ini sudah dipahami oleh para pelaku ekonomi. Namun intuisi dan karakter sebagai faktor yang paling dominan, mempengaruhi dalam setiap transaksi saham. Tentu dengan resiko gagal dan keuntungan masing-masing perilaku ekonomi. (ind/eko)