Type to search

Gaya Hidup

Gaes !!! Aku Bukan Orang Pintar

Share
ilustrasi orang pintar (depositphotos)

Opini Oleh : Eko Hardianto (Redaktur suaragong.com)

Malang, Suara Gong. Suatu pagi, tiba-tiba seorang kawan lama menelpon. “Assalamualaikum, apa kabar Mas Eko,” sapanya di ujung telephon. “Waalaikumsalam, kabar baik pak bos. Waduh mimpi apa saya semalam ? Kok mentor saya tiba-tiba menelepon. Harusnya yang fakir ilmu ini berbagi kabar dulu,” sambar saya di awal percakapan. Panjang lebar komunikasi lewat handphone, itupun kami akhiri dengan janji ketemu.

Saya memanggilnya “Pak Marpaung”. Karyawan salah satu operator pembangkit listrik PLTU di Paiton, Probolinggo. Boleh dibilang, orang Batak, ini luar biasa pengetahuannya. Cerdas cara berfikir, lugas cara bicara, sederhana kalimat dia pakai dalam berkomunikasi.

Dua puluh tahun lebih sedikit, saya mengenal Marpaung. Seingat saya juga, tiga kali kami kerja bareng dalam event besar dan kecil. Termasuk untuk sebuah seminar menghadirkan Presiden Jokowi, di Hotel Balava Malang, 2019 silam.

Tak lama kemudian kami berjumpa. Baru seminggu lalu tepatnya Jumat (16/6/2023), di rumah dia yang kini disulap menjadi beberapa ruko. “Persiapan buat usaha saat pensiun,” kata Marpaung, soal rumah toko, di sela obrolan. Seperti biasa, setiap bertemu mualaf itu, bermacam persoalan jadi topik diskusi, ada pula yang saya tanyakan. Endingnya saya paham dan tambah ilmu.

Marpaung, bukan satu-satunya teman yang saya anggap pintar. Ada banyak teman pintar lain saya kenal. Dari kalangan ulama, wartawan, politisi, ASN, lawyer, dosen, tentara, polisi, sampai mahasiswa.

Bagaimana klaim kepintaran mereka itu saya pastikan? Sederhana sekali. Begini. Secara kebetulan, saya berprofesi jurnalis. Jurnalis identik selalu berfikir menyelidik. Setiap kali mengenal orang baru, bahkan suasana, dan tempat baru, gaya berfikir itupun otomatis jalan tanpa perintah.

Kecerdasan saya ketahui ada lima (bisa jadi lebih) hal. Tidak hanya akademik. Tapi ada kecerdasan linguistik (word smart), kecerdasan logika-matematika (number smart), kecerdasan visual-spasial (picture smart), dan kecerdasan interpersonal (people smart). Dari kecerdasan itulah seseorang kemudian menjadi dianggap pintar.

Dalam tulisan ini, saya tidak membahas arti kecerdasan itu sendiri. Sebab bisa-bisa naskahnya terlalu pajang menjemukan. Karena itu, kosa kata tetang kecerdasan saya pilih sangat mudah dipahami.

Mendeskripsikan klaim kecerdasan Marpaung, dan beberapa kenalan, tidak lepas dari gaya berinteraksi dan isi percakapan. Sudah menjadi kebiasaan mereka menyandarkan komunikasi berdasar pengetahuan. Baiklah, kira-kira dari kecerdasan itu mereka belajar, lalu berilmu, dan bisa dikatakan pintar.

Begitulah setahu saya tentang kecerdasan dan kepintaran mereka. Ada Ilmu sebelum berkata. Bukan sebaliknya, tidak berilmu namun menampakkan diri seolah-olah berilmu.

Sebagai muslim sejak lahir, saya tidak jauh dari bacaan tentang sejarah syiar Islam dari para utusan Allah dan ulama. Dalam sebuah riwayat, Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zayd rahimahullah mengatakan, “Hati-hati! Jangan sampai jadi Abu Syibr (Abu Sejengkal).

Dikatakan, ilmu itu terdiri tiga jengkal (tingkatan). Siapa yang baru masuk pada jengkal pertama akan sombong, naik ke jengkal kedua mulai tawaduk (rendah hati). Dan siapa yang naik jengkal ketiga ia tahu bahwa dirinya tidak tahu (karena begitu luasnya samudra ilmu).

Di sini. Ulama besar lahir di kawasan al-Wasym, dataran tinggi Nejd, pada tahun 1365 H, itu, ingin berpesan, bila belum berilmu, tidak dianjurkan menyampaikan fatwa.

Tapi perlu kita ketahui. Tentu di dunia ini terdapat hukum kebalikan. Meminjam istilah politik ada kalimat paradoks. Tidak sedikit orang-orang yang sebenarnya tidak pintar tapi kemudian sok pintar.

Nah bagaimana dengan sok pintar ?
Dalam psikologi moderen, orang-orang yang merasa dirinya pintar bisa saja terkena Dunning-Kruger Effect. Orang yang mengalami efek tersebut merasa unggul dari segi pengetahuan maupun kemampuan yang dimilikinya.

Orang tersebut percaya bahwa ia lebih pintar dan lebih mampu daripada kenyataannya. Ini terjadi karena kombinasi antara kesadaran diri yang buruk dan kemampuan kognitif yang rendah.

Efek ini pertama kali digambarkan oleh dua psikolog sosial, yaitu David Dunning dan Justin Kruger. Dalam serangkaian penelitian, orang-orang yang memiliki hasil yang rendah pada tes tata bahasa, humor, dan logika, justru menilai dirinya memiliki kemampuan yang lebih tinggi dan orang lain sangatlah buruk.

Padahal, rendahnya pengetahuan atau kemampuan yang ia miliki membuatnya tak dapat mengenali tingkat keterampilan dan kompetensi orang lain. Sehingga secara konsisten memandang dirinya lebih baik, lebih mampu, dan lebih berpengetahuan. Selain itu, ia juga tak mampu menerima pemikiran orang lain. (*)

Tags:

You Might also Like