Oleh : Eko Hardianto (redaktur suaragong.com)
Probolinggo, Suara Gong. Desember 2023, Habib Hadi Zainal Abidin, Wali Kota Probolinggo, purna tugas. Artinya, kursi kepala daerah kosong. Jabatan politik dengan semua fasilitasnya, menjadi bukan milik siapa-siapa.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) lagi baru 27 November 2024. Pelaksanaannya serentak di seluruh Indonesia. Sejak ditinggal Habib Hadi, roda pemerintahan akan dipimpin penjabat kepala daerah sementara.
Dia berpangkat eselon II tunjukan Gubernur Jawa Timur. Bisa dari Kota Probolinggo sendiri, bisa pula dari lingkungan Pemprov Jatim. Soal ini masih misteri.
Dalam UU Pilkada disebutkan, untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan dilantiknya gubernur definitif.
Sementara, untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/wali kota, diangkat penjabat bupati/wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan bupati dan wali kota.
Bicara politik dan pilkada, memang tidak ada habisnya. Kira-kira 11-12 dengan para jomblo membahas lawan jenis. Atmosfirnya bisa bikin emosional, nyaman, asik, kadang juga “ngeres”.
Dalam beberapa kesempatan, penulis berbincang santai dengan eks maupun kepala daerah aktif. Tidak hanya di Probolinggo, tapi juga di beberapa kota lain. Obrolan itu tentu soal politik.
Sesekali ada selingan joke-joke segar. Kadang ditambah bumbu-bumbu mistis dalam dunia politik. Seperti guru spiritual. Ageman atau pusaka yang harus dimiliki kepala daerah. Sampai soal tirakat dan pantangan selama menjabat. Tentu memperkaya wawasan penulis.
Seperti tidak ada alasan untuk mentutup-tutupi budaya dan prilaku politik. Para politisi ini buka-bukaan bicara politik. Mulai soal pencitraan, sampai membangun jaringan. Dari harga suara, sampai nilai tebusan sebuah rekom parpol. Semua blak-blakan. Gestur meraka menunjukkan sedang bicara dengan sahabat.
Dalam sebuah obrolan, penulis menangkap satu pernyataan menarik. Yakni soal incumbent. “Dimana-mana, incumbent, sudah siapkan pasukan sejak pertengahan masa dia menjabat,” kata seorang eks kepala daerah. Maaf penulis tidak sebutkan namanya. Tentu untuk alasan privasi.
“Politisasi birokrasi, politisasi masyarakat wajib dia lakukan, lah. Kalau ga gitu ya konyol. Kata Pak Jokowi, masa iya kayak meteran pom bensin. Kembali dari nol,” sambung dia sambil tertawa.
Dari pernyataan itu, penulis terlibat diskusi imajiner. Bagaimana pilkada 2024 di kota Mangga ? Jika Habib Hadi, kembali maju, maka ia sebagai incumbent. Menghitung modal dan persiapannya running di ronde ke dua, tidaklah sulit.
Mengacu strategi dikatakan eks kepala daerah teman penulis, inilah waktu finishing politisasi birokrasi. Jelang lengser, semua harus sudah clear.
Memastikan plan A, B, dan seterusnya berjalan semestinya. Jadi saat jabatan wali kota ditinggal, tidak ada lagi rencana belum terlaksana. Tinggal eksekusi di hari H.
Bagaimana konstruksi tetap kokoh hingga 2024, mestinya juga dalam agenda. Cara paling mudah, mengutak-atik penjabat kepala daerah utusan gubernur.
Sederhana. Jika penjabat kepala daerah dalam kendali, konstruksi politik tetap aman. Tidak porak-poranda hacur begitu saja. Kerja keras sejak pertengahan menjabat tentu tidak sia-sia.
Soal pengkondisian masyarakat, juga bagian dari strategi. Bisa lewat politisasi anggaran. Gelontorkan batuan sosial. Siapkan anggaran untuk pesta dan menghibur rakyat. Dan ini diskusi imajiner bersama incumbent.
Itulah politik. Banyak drama dan cerita. Alurnya juga tidak pernah pasti. Mereka bilang politik itu dinamis. Semua proses terjadi muaranya selalu kepentingan.
Penulis optimis, selama masa transisi, Kota Probolinggo, kondusif. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, bakal menunjuk penjabat kepala daerah bebas kepentingan.
Ibu gubernur yang baik hati dan murah senyum akan berpihak kepada masyarakat. Menjaga ritme pemerintahan tetap stabil. Demokrasi akan berjalan sesuai Pancasila dan UUD 1945. (*)