Oleh : Eko Hardianto
Probolinggo, Suara Gong. Kali ini, hasrat menuntaskan bacaan Novel berjudul “Di Ujung Janji” begitu kuat. Novel karya Danielle Steel, dengan judul asli “Passions Promise”, di tanganku sudah terjemahan.
Buku ini menarik. Tak hanya soal romantika cinta seorang jurnalis perempuan. Tapi juga bagaimana pergumulan batin Kezia Saint Martin, menjalani kehidupan dalam dua dunia sekaligus.
Ya… dia menyandang status, profesi, dan beban, dari sebuah konsekwensi. Satu sisi sebagai jurnalis penuh dedikasi, sisi lain ia adalah bangsawan bergaya hidup glammour bergelimang kemewahan.
Novel ini pernah meraih best seller nomor wahid di dunia. Diterbitkan kembali oleh Kompas Gramedia Pustaka Utama, pada 1995. Dan dikabarkan, sedikitnya 300 juta eksemplar terjual di pasaran.
Hrrrrt…. hrrrrt…. tiba-tiba ponselku bergetar. Mas Prayogi, CEO, Koran Harian Memo-X menelpon. Dia mengabarkan sedang meluncur dari Malang, ke Probolinggo.
Waktu menunjukkan 18:39 Wib. Artinya jika lewat jalan tol PasPro, pukul 20:30 Wib, dia sudah sampai Probolinggo. Atau mungkin, karena jalan bebas hambatan, hanya satu jam lebih sedikit saja waktu tempuh dari Kota Apel, ke Kota Mangga.
Ku simpan lagi Novel “Passions Promise”. Sambil menunggu Mas Yogi (begitu dia biasa kusapa), dari pondokku di pinggiran kota, ku bergegas meluncur mencari tongkrongan di kawasan kota. Kaffe Boston, jadi pilihan.
Singkat cerita kami nongkrong bersama. Tak ketinggalan menu wajib. Secangkir kopi dan cemilan kentang goreng. Basa-basi berbagi kabar. Lalu diskusi kecil, tak jauh dari soalan politik.
Semua bisa menebak. Karena aktual, tentu diskusi kami masih soal kans Habib Hadi, Wali Kota Probolinggo, 2019-2023 di pilkada 2024. Mas Yogi, bukan orang baru mengenal Habib Hadi.
Di kepalaku dia juga bukan orang sembarangan bicara peta politik Jawa Timur. Ndak kaget, dia pimpinan surat kabar yang tetap eksis di era media online. Harian Memo-X masih memiliki tiras pembaca sekitar 15.000 an di Jawa Timur. Belum yang online.
Wartawannya dimana-mana. Mengisi setiap celah di provinsi dipimpin Gubernur Khofifah. Mudah sekali baginya membangun komunikasi dan jaringan dengan para tokoh dan politisi. Tentu dijembatani anak buahnya yang meliput di setiap daerah.
“Habib Hadi, peluangnya masih sangat besar jika running di 2024. Bocoran alusnya dia akan running di Kabupaten Probolinggo,” kata Mas Yogi.
Soal dukungan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terhadap Habib Hadi, tidak perlu dibahas terlalu njlimet. “Saat ini dia masih kader terbaik,” sambung Mas Yogi. “Mari kita meraba potensi suara pendukung Habib Hadi, di Kabupaten Probolinggo,” kata dia sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
Di kalangan santri dan ulama, politisi PKB ini tidak bisa dianggap new comer. Habib Hadi, dibesarkan di lingkungan pesantren. Putra seorang ulama besar di Probolinggo. Orang-orang mengenal Abi-nya, dengan sebutan Habib Muhammad Al Habsyi. Pengasuh Ponpes Riyadlus Sholihin.
Riyadlus Sholihin, dibahasa Indonesia-kan artinya “Taman Surgawi”. Alumnus Riyadlus Sholihin, tentu menjadi ceruk suara bagi Habib Hadi. Suara milenial dari kalangan santri apa lagi. Plus dukungan wali santri Riyadlus Sholihin. Soal ini tentu juga clear.
Kultur dan budaya Kabupaten Probolinggo, pure masyarakat pesantren. Jumlah warga Nahdliyin, mencapai 92% (data BPS) sisanya 1,25 % beragam. Nah di kalangan NU, Abi-nya Habib Hadi, dikenal tokoh sentral. Almarhum Habib Muhammad Al Habsyi, semasa hidup gemar bersilaturahmi. Bahkan tak hanya di Kabupaten Probolinggo.
Beliau tokoh NU termasyur se exk Karesidenan Besuki. Atau Jawa Timur, bagian timur. Mulai Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, hingga Banyuwangi. Kesimpulannya dukungan Nahdliyin, di Kabupaten Probolinggo, menjadi ceruk suara bagi Habib Hadi. Bibit, bebet, dan bobot, tidak perlu diuji. Mengalir pekat darah NU di tubuhnya.
Kebiasaan silaturahmi kepada akar rumput Nahdliyyin, kini diwarisi Habib Ali. Ketokohan sang kakak dari Habib Hadi, ini tidak bisa dianggap sepele. Ia kini juga termasyur seperti Abi-nya, Waliyullah Habib Muhammad Al Habsyi.
Kalangan milenial bahkan menyebut Habib Ali, tokoh santri yang sederhana dan rada-rada cowboy. Ia menggedor budaya feodal ala pesantren, yang tak lagi permisif untuk masa kini. Otomatis sikap dan gaya itu mudah sekali masuk dan diterima semua kelompok dan kalangan muda. Bukan tidak mungkin pengaruh Habib Ali, juga memuluskan jalan Habib Hadi.
Lalu bagaimana dengan dukungan para tokoh dan ulama di Kabupaten Probolinggo ? Catatan penulis, ada empat ponpes terbesar di wilayah itu. Kita lokalisir saja suara dari ke empat ponpes ini.
Di Paiton, ada Ponpes Nurul Jadid, dan Ponpes Nurul Qodim. Lalu di Kraksaan ada Ponpes KH. Hasan Genggong, dan Ponpes Badriduja. Namun kita tidak hitung dukungan Ponpes KH Hasan Genggong.
Alasan penulis cukup permisif, sebab sudah muncul nama Gus Haris, cucu Waliyullah, KH Hasan, sepuh, digadang sebagai bakal calon Bupati.
Tinggal kita kalkulasi tiga ponpes besar tadi. Dari beberapa peristiwa politik terjadi, sikap ketiga ulama pemimpin ponpes itu, masih mencair. Tentu masyarakat juga menunggu dawuh atau isyarat para kyai. Kemana mengerucut.
Selain kata Mas Yogi, sumber penulis juga menjelaskan, para tokoh ulama tersebut masih diam. Restu belum jatuh kepada siapapun. Sejumlah makelar politik yang menghadap, juga balik kucing. Mereka pulang tanpa mengantongi pesan apapun.
Tapi ke tiga pengasuh ponpes itu punya harapan besar. Yakni calon pemimpin yang benar-benar fresh. Terutama punya terobosan terhadap dunia pesantren. Tidak menyimpan dosa politik masa lalu. Dan tak memiliki dendam politik, muncul sebagai kandidat. Jika kriteria para ulama demikian, lagi-lagi Habib Hadi, berpeluang besar.
Saatnya bicara PKB. Partai besutan Gus Dur itu, juga telah mengkalkulasi Habib Hadi, dan peta politik Kabupaten Probolinggo. Menyimak desas-desus di lingkungan DPW PKB Jawa Timur. 2024 nanti, Habib Hadi, bakal tampil di Kabupaten Probolinggo. Sementara untuk Kota Probolinggo sendiri, elektoral dan elektabilitas Bu Wali, atau Ny. Aminah, sedang dihitung.
Pada pemilu periode 2019 lalu, perolehan suara PKB di Kabupaten Probolinggo, terbesar ke dua setelah NasDem. Tidak kaget, PKB yang lahir dari rahim NU, pemilihnya hampir mayoritas juga warga Nahdliyyin.
Artinya, jika pilkada hari ini, Fraksi PKB di DPRD Kabupaten Probolinggo, hanya butuh tambahan tiga kursi koalisi mengusung Habib Hadi. Sementara NasDem, sebagai partai pemenang, sejauh ini masih ini belum memiliki figur sentral. Namun apapun itu politik tetap dinamis. (*)