Malang, Suara Gong
Berawal dari sebuah penemuan lukisan dalam gua bersejarah di Muna, Sulawesi Tenggara. Lukisan ini menggambarkan sosok manusia sedang bermain benda yang terbang di udara.
Tercatat dari 1981 hingga 1991 kelompok arkeolog Nasional melakukan penelitian tentang lukisan goa tersebut. Dan hasil penelitian menunjukkan, bahwa lukisan tersebut merepresentasikan seorang manusia prasejarah sedang bermain layang-layang terbuat dari daun. Peristiwa manusia dalam lukisan sitaksir terjadi 4000 tahun yang lalu dalam kalender Masehi.
Di kawasan Nusantara sendiri catatan, pertama mengenai layang-layang adalah dari Sejarah Melayu (Sulalatus Salatin) abad ke-17. Dikisahkan, saat itu tengah berlangsung festival layang-layang yang diikuti oseorang pembesar kerajaan.
Sementara fungsi layang-layang bagi nenek moyang kita, adalah sarana ritual dan pendekatan pada sang pencipta. Diantaranya untuk menyampaikan pesan pada dunia di atas langit.Pemandu Museum Layang-layang di Jakarta, Asep Irawan menjelaskan, budaya layang-layang pertama kali dilakukan oleh nenek moyang kita di Indonesia, terungkap lewat lukisan Muna.
Berkembang fungsi dari ritual keagamaan, layang-layang menjadi alat bantu memancing, penelitian ilmiah, dan media energi alternatif. Itulah kenapa Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, mengadakan festival Kaghati Kolope untuk melestarikan budaya layang-layang ini.
Meski hanya berupa permainan sederhana, namun festival layang-layang menjadi warisan budaya tak benda yang terkenal di dunia.
Festival Kaghati Kolope, konon sudah dimulai sejak 4000 tahun yang lalu oleh masyarakat Muna, Sulawesi Tenggara. Kata “kaghati” sendiri berarti layang-layang dan “kolope” adalah daun umbi gadung (Dioscorea Hispida).
Pada zaman dahulu, nenek moyang masyarakat Muna, membuat layangan yang berasal dari tiga helai daun kolope. Daun tersebut disusun dan dirangkai dengan lidi dari bambu serta hiasan bulu ayam, lalu dinamai sebagai Kamuu. Festival ini adalah bentuk menghormati nilai budaya leluhur nenek moyang di Kabupaten Muna. (ind/eko)