Opini : Didik P Wicaksono
Malang, Suara Gong. Banyak dimensi dan perspektif dalam memahami mimpi. Salah satunya, dalam tulisan ini, mimpi berdasarkan psikoanalisis ala Sigmund Freud (1856-1939).
Freud, pakar psikoanalisis, mengenalkan struktur kepribadian manusia melalui tiga konsep, yaitu “id” (hasrat), “ego (pengendalian diri)” dan “superego (norma dan aturan)”. Ketiga konsep bekerja membentuk kepribadian atau siapa kita sebenarnya. Saling berhubungan antara id, ego dan superego dalam memahami perilaku manusia (perilaku sosial), termasuk pula kaitannya dengan produk mimpi.
Id bagian dari sisi manusia yang liar untuk segera dipenuhi, tidak melihat norma (hukum). Superego bagian dari sisi manusia yang “diikat” oleh norma. Sedangkan ego adalah pertimbangan yang menjembatani antara id dan superego. Idealnya perilaku sosial harus selalu selaras dengan norma yang berlaku.
Dalam konteks mimpi, id, ego dan superego saling berhubungan. Id bagian sisi yang paling aktif mewakili hasrat keinginan, baik sadar (dorongan yang dapat dirasakan) atau tidak sadar (tersembunyi, dorongan yang tidak dapat dirasakan). Mimpi-mimpi liar seringkali muncul. Nilai, norma, aturan, hukum dan sejenisnya yang menjadi pengendali id di alam nyata, tidak berfungsi di alam mimpi.
Baca Juga : Gaes !!! Ramalan Hari Ini 25 Juli 2023, Tantangan Bagi Virgo Sudah di Depan Mata
Ego berperan menjaga keseimbangan antara id dan superego. Ego berusaha memenuhi hasrat dan keinginan id dan muncul secara simbolis dalam mimpi. Misalnya, jika id ingin melampiaskan hasrat seksual, namun tidak memiliki pasangan sah dan takut dosa, ego menggantinya dengan mimpi beraktivitas seksual atau simbolisasi mimpi berkaitan dengan seksual. Remaja ditandai dengan “mimpi basah”. Mimpi basah adalah simbolisasi hasrat seksual.
Pengaruh sisi superego sebagai rambu-rambu moral dapat membuat rasa bersalah atau konflik moral ketika “id” mengekspresikan keinginan-keinginan yang bertentangan dengan norma. Id, ego dan superego dalam mimpi saling berinteraksi secara kompleks. Saling mempengaruhi dan menciptakan “dunia lain” dengan penuh simbol dan perasaan yang disadari atau mungkin tidak disadari. Simbol-simbol dalam mimpi berkaitan dengan hasrat, keinginan dan orientasi seksual yang terpendam. Laki-laki bermimpi ruangan, bulatan atau benda-benda berlubang (gua, kaleng, cincin, gelas dan lain sebagainya) menyimbolkan alat kelamin (genital) perempuan. Sebaliknya perempuan bermimpi pedang atau benda-benda panjang (tongkat, ular, pensil, menara dan lain-lain) menyimbolkan genital laki-laki. Setiap gerak yang tampak dalam mimpi (berjalan, lari, berenang, naik sepeda, naik kereta api dan lain-lain) merupakan lambang praktik aktivitas seksual.
Pandangan psikoanalisis Freud melihat perilaku manusia sejak lahir hingga tua sisi “id” berpusat pada tahapan dan pemenuhan hasrat seksual. Pemenuhan tahapan seksual ini dikenal dengan istilah psikoseksual. Lebih jauh Freud menjelaskan klasifikasi psikoseksual meliputi tahap oral (mulut), anal (usus), falik (area genital), laten (tidak aktif secara seksual), dan genital (mature).
Tahap mulut dimulai sejak lahir. Fokus utama sensasi seksual pada stimulasi mulut dan gigitan. Aktivitas menyusui adalah aktivitas kepuasan seksual bagi bayi.
Tahap anal (usus) mulai terjadi sekitar usia satu dimana kepuasan seksual berkaitan dengan pengendalian dan pembuangan air kecil dan besar/tinja. Fase ini ditandai dengan ngompol atau kencing tanpa dapat dicegahnya.
Tahap falik (genital) mulai terjadi pada usia tiga tahunan. Perkembangan seksual pada tahap ini berkaitan dengan perhatian anak terhadap genetikal. Perbedaan alat kelamin dan perasaan terhadap perbedaan anatomi mereka sendiri dengan lawan jenisnya. Pada tahapan ini mulai muncul “oedipus complex untuk anak laki-laki dan “electra complex” untuk anak perempuan.
Oedipus complex merujuk pada fase anak laki-laki memiliki keinginan seksual terhadap ibunya dan menganggap ayahnya sebagai saingan. Sebaliknya, electra complex muncul pada anak perempuan yang memiliki keinginan seksual terhadap ayahnya dan merasa iri terhadap ibunya.
Tahap laten dimulai sekitar usia enam tahun. Pada tahap ini, minat seksual tampak menurun dan anak cenderung lebih fokus pada perkembangan non-seksual seperti bermain, sekolah persahabatan dan kegiatan lainnya.
Tahap genital dimulai pada masa remaja dan berlanjut hingga dewasa dan tua. Fokus utama perkembangan seksual berada pada hubungan intim, baik orientasi seksual yang matang dari fungsi reproduksi (heteroseksual) maupun orientasi seksual yang menyimpang (homoseksual, biseksual). Pada usia lanjut, lama tidak melakukan hubungan intim karena misalnya istri atau suaminya wafat (duda/janda), ekspresi keinginan itu muncul dalam mimpi. Semakin tua kadang semakin seperti anak-anak. Termasuk ngompol bisa terjadi pada orang tua.
Namun psikoanalisis dan psikoseksual sebagai cara memahami mimpi tidak sepenuhnya diterima bagi tokoh dan pakar (ilmuan) lainnya. Banyak deretan ilmuwan yang menentang psikoanalisisnya Freud. Di antaranya Karl Popper (1902-1994) yang tegas menolak psikoanalisis. Pandangannya, psikoanalisis bukanlah sains, karena tidak dapat diuji secara falsifikasi dan tidak memperlihatkan bukti-bukti ilmiah. Ilmuwan Islam, Moustafa Mahmoud (1921-2009) dokter dari Mesir juga mengkritisi pandangan Freud. “Tidak mungkin bayi menyusu merasakan kenikmatan seksual. Sebab organ-organ tubuhnya belum berkembang sempurna”.
Pengalaman bermimpi seseorang merupakan peristiwa yang kompleks dan sulit untuk dipahami. Apalagi hanya dari sudut pandang Sigmund Freud yang mengarah pada kenikmatan dan ekspresi seksual (salah satu kebutuhan biologis) kehidupan manusia di alam nyata dan simbolisasi di alam mimpi.