Malang, Suara Gong.
Pasola sendiri diambil dari kata sola atau hola yang berarti lembing kayu dalam bahasa Sumba. Alat ini budaya adat Nusa Tenggara Timur yang biasanya dimainkan oleh kedua pria penunggang kuda. Keduanya saling berhadapan membawa pasola tersebut. Meski ujung lembing tumpul, namun dapat melukai dan menjatuhkan saat dilemparkan oleh lawan.
Para ksatria penunggang kuda bukan hanya mempunyai kekuatan dan akurasi dalam melesatkan tombak. Namun lihai dalam menghindari lemparan tongkat kayu. Diperlukan timing dan strategi yang pas dalam tradisi permainan ini.
Pada masa kolonial disebut tradisi “kuda berdarah” karena pada masa itu, tombak yang digunakan dalam permainan berujung tajam terbuat dari logam. Tradisi Pasola, sebenarnya telah dilarang oleh pemerintah karena berbagai alasan, namun untuk melestarikan budaya beberapa peraturan pertandingan dimodifikasi, salah satunya dengan merubah bentuk lembing.
Sebelum menunggang kuda, sang ksatria terlebih dahulu meminum Peci, yaitu sebuah minuman tradisional khas kebanggan Sumba. Dengan terlebih dahulu menggunakan pakaian adat serta riasan kuda agar telihat gagah dan estetik. Setelah suasana panas, riuh teriakan para penonton yang melingkari ladang ilalang meneriakan “Nyaleeeeee”.
Sang juri pemimpin pertarungan ini memberi aba-aba dimulainya sebuah pertandingan. Gemuruh teriakan terkadang ejekan penonton, deru langkah kuda dan pekikan ksatria menjadi atmosfir yang seakan berada di tengah pertempuran. Permainan diakhiri dengan beberapa peraturan di antaranya habisnya lembing sang pemain.
(ind/eko)