Malang, Suaragong – Dalam sepekan kemarin, beberapa pemerintah daerah di Jawa Timur (Jatim) bekerja sama dengan Perum Buloq menggelar operasi pasar “Beras Murah”. Warga terutama kalangan ibu-ibu yang setiap hari berkecimpung dengan urusan dapur rela antri dan berdesak-desakan agar bisa mendapatkan 5 kg beras yang dijual Buloq dengan harga Rp 51 ribu per 5 kg.
Kini Ramadan kurang sepekan lagi, warga selalu menunggu operasi pasar lagi. Biasanya harga bahan pokok akan naik seiring peningkatan kebutuhan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan selama Ramadan sama hari raya Idul Fitri. Harapan kita sebagai warga, pemerintah dan Buloq tak sebatas menjual beras dan minyak goreng saja. Tapi juga menjual telor, tepung, gula.
Lantas tempat penjualannya dikantor balai desa atau kelurahaan.Jangan dipusatkan di dekat pasar. Kita khawatir, ada oknum pedagang pasar yang memiliki modal besar nakal dan ikut antri beli sembako lalu dijual lagi dalam bedaknya. Petugas rasanya sulit mendeteksi, mana pemilik toko sembako dan warga yang benar-benar membutuhkan beras untuk menyambung hidup bersama anggota keluarganya.
Saat ini, masyarakat masih terus menunggu upaya pemerintah untuk menormalkan kembali harga beras. Karena pada beberapa kesempatan, pejabat negeri ini sering mengucapkan bahwa harga beras mahal karena belum masuk musim panen dan cadangan beras dunia sedang turun. Termasuk adanya perubahan iklim global. Menjadikan produksi beras dibelahan dunia lain ikut turun.
Pertanyaannya sekarang, Thailand dan Pakistan sukses mengimpor beras ke Indonesia. Apakah didua negari itu sedang tidak terkena dampak perubahan iklim global.
Sehingga petani padi di Thailand dan Pakistan masih bisa panen raya padi. Dulu, Indonesia dikenal sebagai negara berswasembada beras. Indonesia bisa mengekpor beras kebeberapa negara ASEAN. Tapi kini sebaliknya, Indonesia sebagai negara tujuan favorit untuk mengimpor beras. Apakah negara kita terlalu konsumsitif terhadap beras ya? Atau karena jumlah penduduk Indonesia terlalu besar? Atau system pertanian kita yang kurang tertata dengan rapi. Sehingga menjadikan produksi gabah dari petani terus berkurang.
Atau karena banyaknya alih fungsi lahan persawahan menjadi kawasan perumahan, perkantoran, pertokoan atau pusat bisnis lainnya? Semua memang butuh kajian yang lebih dalam dan detail. Supaya gairah petani untuk menanam padi tetap terjaga. Khususnya kalangan anak muda, yang orang tuanya memiliki sawah yang luas, sedianya mau bertani dan menanam padi. Supaya harga beras tak mahal.
Baca juga : Jelang Ramadan Stok Bahan Pokok Aman
Dan pemerintah sebaiknya tetap memperhatikan kesejahteraan petani. Subsidi pupuk organic harus ditambah. Harga eceren tertinggi (HET) gabah juga harus dinaikkan. Supaya petani tak sering merugi. Saat harga beras mahal, petani tersenyum. Tapi fakta dilapangan tak seindah yang diucapkan. Petani masih sering merugi walaupun tak menjual beras murah. Karena biaya produksi tak sebanding dengan harga jual produk pertaniannya. (red/man)