Menurut inisiator petisi, kelompok Bareng Warga, kebijakan ini dinilai akan semakin menekan rakyat kecil di tengah daya beli masyarakat yang masih terpuruk.
“Rencana menaikkan PPN hanya akan memperdalam penderitaan masyarakat. Harga kebutuhan pokok, seperti sabun mandi hingga Bahan Bakar Minyak (BBM), pasti naik. Padahal kondisi ekonomi rakyat belum pulih,” tulis mereka dalam pernyataannya.
Ekonomi Rakyat di Titik Kritis
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan situasi ekonomi yang masih rapuh. Per Agustus 2024, angka pengangguran terbuka mencapai 4,91 juta orang. Dari 144,64 juta orang yang bekerja, mayoritas—57,94 persen atau sekitar 83,83 juta orang—bekerja di sektor informal, yang sangat rentan terhadap gejolak ekonomi.
Selain itu, upah minimum juga dianggap jauh dari standar hidup layak. Data BPS 2022 menyebutkan bahwa biaya hidup layak di Jakarta mencapai Rp14 juta per bulan, sementara Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta pada 2024 hanya Rp5,06 juta.
“Inilah kenapa kebijakan ini harus dibatalkan. Sebelum luka masyarakat semakin dalam, sebelum beban utang menumpuk, pemerintah harus bertindak,” tegas Bareng Warga.
Baca juga : Kemenkeu Tegaskan Kenaikan PPN Menjadi 12 Persen pada 2025
Pemerintah dan Polemik Kenaikan PPN
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa kebijakan ini bersifat selektif dan hanya akan berlaku untuk barang serta jasa kategori mewah. Namun, kritik tetap bermunculan dari berbagai kalangan, mulai dari politisi, partai, hingga tokoh masyarakat.
Sebagai bentuk penolakan, Bareng Warga bersama massa aksi telah menyerahkan petisi ini ke Sekretariat Negara RI pada Kamis (19/12). Risyad Azhary, perwakilan kelompok tersebut, menyampaikan, “Kalau kebijakan ini tetap dipaksakan, jelas pemerintah tidak berpihak pada rakyat kecil, pekerja, dan kelas menengah.”
Akankah Suara Rakyat Didengar?
Rencana kenaikan PPN 12 persen ini dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Namun, dengan tekanan publik yang terus meningkat, keputusan pemerintah dalam merespons aspirasi ini akan menjadi ujian besar.
Apakah petisi yang telah menggugah ratusan ribu orang ini mampu mengubah arah kebijakan? Atau, akankah perlawanan ini menjadi catatan sejarah tentang suara rakyat yang tak didengar? Jawabannya akan segera terungkap. (acs)