Band Sukatani Dan Suara Kebebasan
Share

SUARAGONG.COM – Di negeri ini, hukum seringkali bukan panglima melainkan ilusi lentur di tangan yang berkuasa. Dalam pusaran kekuasaan, institusi kepolisian menjadi aktor yang selalu ingin menang sendiri, menciptakan lanskap hukum yang timpang, tajam ke bawah tumpul ke atas.
Kebebasan Berekspresi Tertekan
Kasus Sukatani, band street punk asal Purbalingga menjadi cermin buram betapa kebebasan berekspresi di bidang seni terus mendapat tekanan.
Album mereka “Bayar Bayar Bayar” yang secara terang-terangan mengkritik praktik korupsi di tubuh kepolisian menjadi pemantik api yang akhirnya membakar diri sendiri.
Intimidasi dan Pembungkaman
Sukatani digelandang ke kantor polisi, dipaksa meminta maaf, lalu direkam dalam sebuah video. Kesan intimidasi begitu kuat terbaca. Ini bukan sekadar intervensi, ini adalah pembungkaman.
Trauma dan Keberanian yang Hilang
Meski Sukatani bisa kembali tampil menyapa penggemarnya namun grup street punk ini tidak berani lagi menyajikan lagu Bayar Bayar Bayar yang sedang trending.
Baca Juga: Band Sukatani Minta Maaf Ke Polisi Atas Lagu Bayar Bayar Bayar
Why? Ditengarai ada trauma yang dialami oleh Muhammad Syifa Al Ufti alias Electroguy (gitaris) dan Novi Chitra Indriyaki alias Twistter Angels (vokalis), yang menjadi pilar grup punk asal Kota Purbalingga tersebut.
Tanggapan dari ICJR
Menanggapi sikap kepolisian terhadap Sukatani, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa lagu tersebut bukan tindak pidana dan tidak bisa dianggap sebagai penghinaan terhadap polisi.
Band punk, dari generasi ke generasi, selalu menjadi corong kritik sosial. Dari The Clash hingga Sex Pistols di Barat, dari Bongkar Iwan Fals hingga Hio Sawung Jabo di Indonesia, musik telah menjadi medium bagi mereka yang suaranya kerap diabaikan.
Namun di tangan aparat yang alergi kritik, kebebasan bermusik bisa menjadi jerat yang menyesakkan.
Ketidakadilan dalam Penegakan Hukum
Ketika Sukatani bersuara polisi bereaksi dengan sigap. Tetapi di mana keberanian yang sama ketika kritik dialamatkan kepada institusi lain? Ketika Presiden Prabowo maupun Presiden Jokowi.
Baca Juga: Makna Terselubung dari Logo Band Sukatani
Dihina habis-habisan oleh Rocky Gerung dan Faizal Assegaf ketika narasi liar ditebarkan oleh para provokator politik seperti Refly Harun, Ray Rangkuti, Abraham Samad, kepolisian justru memilih diam. Kemana ketegasan yang digembar-gemborkan? Kenapa hukum bisa begitu selektif?
Ada adagium yang mengingatkan kita, “Jika ingin selamat, hindari empat urusan, yaitu jangan sampai berurusan dengan polisi, pengadilan, rumah sakit maupun wartawan bodrek.” Adagium ini bukan sekadar lelucon kacangan melainkan refleksi dari pengalaman riil masyarakat.
Bertemu polisi bukan soal mencari keadilan tetapi soal seberapa tebal isi dompetmu. Hampir 90% dari mereka yang berurusan dengan kepolisian tau bahwa hukum bisa dinegosiasikan, asal ada pelumasnya. Testimoni tersebut diperoleh dari pelaku judi online maupun narkoba.
Ironi dan Realita Korupsi
Lihatlah betapa ironi merajalela. Saat mengurus SIM diwajibkan tes psikologi dan tes kesehatan, ternyata hanya formalitas kosong yang tak lebih dari upaya pemerasan sistemik.
Spanduk besar bertuliskan “No Korupsi” terpampang di setiap sudut kantor polisi, tetapi realita di dalamnya justru penuh transaksi kotor. Ini bukan hanya wajah buruk institusi, ini adalah borok yang terus dibiarkan bernanah.
Refleksi dan Harapan
Kasus Sukatani harus menjadi momentum untuk bertanya ulang, apakah kepolisian benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pelindung rakyat atau justru sebagai alat represif bagi mereka yang berani mengkritik.
Jika aparat memiliki taji, tunjukkan keberanian yang sama terhadap semua pihak bukan hanya kepada sekelompok anak punk yang bersuara lantang.
Mereka yang bersuara adalah mereka yang masih peduli. Namun di negeri ini, keberanian berbicara malah bisa berujung pada represi. Polisi yang seharusnya menjadi cermin keadilan kini memilih membelah cermin itu agar kebusukan wajahnya tidak tampak.
Suara Rakyat Tak Bisa Dibungkam
Indonesia butuh kedewasaan berdemokrasi bukan demokrasi yang dibatasi oleh ketakutan. Suara rakyat tak bisa dibungkam. Jika Sukatani telah dibisukan maka akan ada suara lain bermunculan, lebih keras, lebih nyaring, lebih mengguncang!! (Cld/Ls/Irn/PGN)
Baca Juga Artikel Berita Lain dari Suaragong di Google News