SUARAGONG.COM – Anggota Komisi I DPR RI, Oleh Soleh, mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB) yang mengatur pembatasan akses internet dan penggunaan sosial media bagi anak-anak. Menurutnya, SKB tersebut harus melibatkan beberapa kementerian dan lembaga terkait, guna menetapkan pedoman yang jelas mengenai pembatasan penggunaan internet dan ponsel untuk anak-anak di bawah umur.
“Pemerintah harus segera membuat SKB terkait pembatasan akses internet dan penggunaan HP bagi anak-anak,” ujar Oleh Soleh dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Jumat.
Oleh Soleh menyoroti kenyataan bahwa saat ini anak-anak di Indonesia sangat mudah mengakses internet dan menggunakan ponsel. Namun, dia menekankan, banyak konten negatif, iklan, dan promosi judi online yang beredar bebas di media sosial dan sangat mudah diakses oleh anak-anak.
“Harus ada semacam sterilisasi dalam penggunaan HP dan akses internet, terutama untuk anak-anak usia dini, di bawah 15 atau 16 tahun,” tambahnya.
Baca juga : Dampak Sosial Media terhadap Kesehatan Mental
Ia juga mengungkapkan bahwa beberapa negara Eropa yang dikenal dengan masyarakat yang lebih liberal telah lebih dahulu mengatur pembatasan yang lebih ketat, termasuk larangan penggunaan media sosial bagi anak di bawah usia 16 tahun.
“Kita adalah negara yang demokratis dan agamis, tetapi justru menggunakan pendekatan yang lebih liberal. Negara-negara Eropa yang lebih liberal justru sudah membuat regulasi yang ketat,” kata Oleh Soleh.
Sebagai contoh, Pada Kamis (28/11), parlemen Australia mengesahkan undang-undang yang akan melarang siapa pun di bawah usia 16 tahun untuk menggunakan media sosial, termasuk TikTok, Instagram, Snapchat, Facebook, Reddit, dan X. Dengan pengesahan UU tersebut, Australia menjadi negara pertama yang menerapkan pembatasan semacam itu.
Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, menjelaskan bahwa pelarangan media sosial bagi anak di bawah umur ini penting “untuk melindungi kesehatan mental dan kesejahteraan anak-anak muda.” UU ini juga akan memberikan denda hingga 50 juta dolar Australia (sekitar Rp516 miliar) bagi perusahaan yang melanggar aturan tersebut. (acs)
Baca berita terupdate kami lainnya melalui google news