Malang, Suaragong – Budaya yang masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat daerah Jawa yaitu Megengan. Tata cara yang dilaksanakan turun-temurun dalam waktu dekat akan memasuki bulan Puasa (Ramadhan), bulan di mana umat Islam diwajibkan berpuasa, yaitu menahan untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menggugurkan ibadah puasa tersebut.
Megengan diambil dari kata megeng yang artinya menahan. Makna tradisi ini sendiri ialah menahan segala hal yang dapat membatalkan puasa seperti makan dan minum. Megengan artinya juga keselamatan agar tetap terjaga selama menghadapi bulan Ramadhan.
Pada awal Ramadhan diawali dengan berziarah kubur, membersihkannya serta menaburi bunga di atasnya dan tidak lupa mendoakannya. Megengan dimulai pada waktu petang hari dengan dihadiri oleh para tamu undangan. Para tamu undangan yang bersila di atas tikar dihadapkan dengan ambengan sebagai sajian untuk acara megengan.
Tuan rumah mengungkapkan kajat-nya (keinginan) kepada sesepuh lingkungan yang kemudian akan dibacakan doa mengenai kajat-nya. Setelah selesai dibacakannya doa, ambengan akan dibagikan kepada para tamu undangan. Pelaksanaan acara megengan tersebut biasanya dilakukan dari rumah ke rumah. Selain dilaksanakan di rumah, megengan versi massal juga dapat dilaksanakan di langgar ataupun masjid. Para warga membawa ambengan-nya masing-masing ke langgar atau masjid, dan mereka akan melakukan doa bersama yang dipimpin oleh seorang sesepuh lingkungan.
Orang Jawa mungkin lidahnya kesulitan mengatakan afwan, maka untuk mempermudah keluarlah kata apem. Kata ‘apem’ berasal dari bahasa Arab, ‘afuwwun’ yang berarti ampunan. Makna simbolisnya adalah sebagai permohonan maaf dan sejak saat itu, dihidangkanlah apem setiap megengan sebagai simbol permintaan maaf kepada sesama dan permohonan ampun kepada Allah SWT. (Ind)