Probolinggo, suara gong
Permasalahan sampah tentu menyita perhatian dari masyarakat maupun pemerintah. Produksi sampah di wilayah Kota Probolinggo sampai saat ini kian mengalami laju peningkatan. Perhari hampir 70 ton yang masuk ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Bestari Mayangan dari 90 ton sampah yang dihasilkan oleh warga.
Secara realita, permasalahan tersebut tidak seimbang dengan ketersediaan lahan tempat penampungan sampah dan penanganan tata pengelolaan sampah yang baik. Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi III DPRD Kota Probolinggo, Agus Riyanto, dalam rapat dengar pendapat (RDP), Kamis (09/02/2023).
RDP mengahadirkan Bappeda Litbang, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Permukiman Perkotaan (DPUPR PKP), Dinas Satpol PP dan Damkar, pegiat lingkungan, yakni Paguyuban Peduli Sampah (Papesa) dan Forum Masyarakat Lingkungan Sehat (Formalis).
” Kondisi sampah di TPA Bestari Mayangan butuh perhatian serius, karena perhari sekitar 70 ton dari total 90 ton sampah yang dihasilkan warga,”ujar Agus Riyanto.
Lebih jauh, Agus Riyanto mengatakan, pengelolaan sampah seharusnya ada sinergi dan kolaborasi antara Pemkot dan warga masyarakat. Selain itu, harus ada dukungan dari sisi regulasi yakni Perda tentang Pengelolaan Sampah, dan anggaran harus memadai.
“Mari kita pahami untuk menyikapi sampah itu dari tiga perspektif, yakni dari kemanfaatannya, peluang bisnisnya, dan sinergi kolaborasi antar lembaga. Sampah ini dapat menjadi satu peluang sekaligus potensi, untuk kemudian didorong punya kebermanfaatan dari sisi lingkungan dan ekonomi,”tandasnya.
Pengelolaan sampah yang tepat tentu akan mempunyai sisi positif dari segi kebermanfaatannya. Tentu saja pengelolaan sampah yang tidak tepat akan berdampak bagi perekonomian.
Belum lagi, penanganan pengolahan sampah seharusnya dilakukan dari tingkat pertama bukan di TPA. Hal tersebut diketahui karena mayoritas masyarakat langsung membuang sampah rumah tangga tanpa melakukan pemilahan ataupun diolah untuk dimanfaatkan.
“Kita coba dorong agar masalah sampah ini dapat selesai di hulu, bukan selesai di TPA. Hulunya itu adalah rumah tangga, perusahaan dan instansi pemerintah. Harus ada edukasi, sarana dan prasarana dan sinergi kolaborasi antar pihak” jelas Agus Riyanto.
Hal ini harus didukung oleh pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat dalam pengolahan sampah dengan mendorong edukasi pengolahan sampah, menyediakan perlengkapan atau sarana dan prasarana dalam pengolahan sampah, dan menjembatani dengan bisnis. Tentu daur ulang sampah yang tepat tentu dapat menjadikan suatu produk yang menghasilkan nilai jual.
“Harus ada keberanian untuk menyelesaikan persoalan sampah ini dari hulu itu yang paling utama. Masyarakat harus kita bantu dari edukasi, perlengkapan sarana dan prasarananya,”pintanya.
Menanggapi hal itu, Kepala DLH Rachmadetta mengatakan, sesulit apapun kondisinya sampah yang menggunung itu tidak boleh kita biarkan. Persoalan sampah harus menjadi perhatian serius dari semua elemen karena merupakan pekerjaan rumah kita semua, bukan hanya DLH saja yang harus bertanggung jawab.
“Produksi sampah yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi penduduk maka TPA yang ada bakal tidak mampu lagi menampung beban sampah yang dihasilkan. Ini pekerjaan kita semua, karena kita lah produsen sampah itu,” tutur Rachmadetta.
Kondisi TPA sampah saat ini, lanjut Rachmadetta, mengalami overload. Jumlah TPA yang kita miliki hanya satu dengan dua landfill, yang kondisinya saat ini satu penuh, maka kapasitasnya tidak lagi cukup untuk menampung jumlah timbulan sampah masyarakat.
“DLH terus berupaya dalam mencari alternatif baru teknologi untuk percepatan penanganan sampah yang ada di lanfill sehingga dapat memperpanjang umur pakai dari TPA semata wayang tersebut,”pungkasnya.(hud/man)