Malang, Suara Gong. Keris (bahasa Inggris: Kris) adalah peninggalan budaya Nusantara, berupa senjata tikam bentuk berkelok-kelok atau asimetris. Bagi pemiliknya, keris dianggap memiliki kekuatan magis.
Awal mula keris berasal dan menyebar dari pulau Jawa, ke seluruh bagian Nusantara, hingga wilayah Asia Tenggara. Dalam catatan Tome Pires, dikutip dari Suma Oriental, setiap laki-laki suku Jawa, kaya atau miskin, harus memiliki sebilah keris di rumahnya.
Zaman dahulu, laki-laki berusia antara 12 hingga 80 tahun, saat bepergian selalu ditemani sebilah keris. Benda itu diletakkan di punggung maupun di bagian samping perut. Pada masa lalu, keris berfungsi sebagai senjata dalam duel atau peperangan. Juga menjadi pusaka wajib sebagai benda pelengkap sesajian.
Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya. Bentuk keris tidak simetris. Bagian pangkal lebar kemudian meruncing hingga keujung. Sering kali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor yang nampak membentuk pola serat-serat lapisan logam cerah pada bilahnya.
Pembuatan keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya. Singkatnya, bilah besi sebagai bahan dasar dipanaskan hingga berpijar. Kemudian ditempa berulang-ulang untuk membuang pengotor. Setelah bersih, bilah dilipat seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya.
Selanjutnya proses saton. Yaitu lipatan dipanaskan hingga dapat menempel dan memanjang. Campuran ini lalu ditempa kembali berulang-ulang untuk memperoleh pamor. Berikutnya proses membagi lempengan menjadi dua bagian, disebut kodhokan.
Satu lempengan baja ditempatkan di antara kedua kodhokan, diikat lalu dipijarkan dan ditempa menjadi satu. Ujung kodhokan, dibuat agak memanjang untuk dipotong dan dijadikan genja.
Tahap berikutnya adalah membentuk pesi, bengkek (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berluk atau lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan.
Selanjutnya adalah pembuatan ornamen (ricikan) dengan menggarap bagian-bagian tertentu menggunakan kikir, gerinda, serta bor, sesuai dengan dhapur keris yang akan dibuat. Silak waja dilakukan dengan mengikir bilah untuk melihat pamor yang terbentuk. Genja dibuat mengikuti bagian dasar bilah.
Semententara ukuran lubang gagang keris, disesuaikan dengan diameter pesi.
Tahap terakhir, yaitu penyepuhan, dilakukan agar logam keris menjadi logam besi baja. Pada keris Filipina, tidak dilakukan proses ini. Penyepuhan (“menuakan logam”) dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran belerang, garam, dan perasan jeruk nipis (disebut kamalan).
Penyepuhan juga dapat dilakukan dengan memijarkan keris lalu dicelupkan ke dalam cairan (air, air garam, atau minyak kelapa, tergantung pengalaman Empu yang membuat). Tindakan penyepuhan harus dilakukan dengan hati-hati karena bila salah dapat membuat bilah keris retak.
Keris telah terdaftar dan diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia yang berasal dari Indonesia sejak 2005. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya. (ind/eko)