Probolinggo, Suara Gong. Fenomena Politik uang menjadi isu krusial karena dianggap sebuah kelaziman dalam Pesta rakyat lima tahunan yang terjadi ditengah masyarakat. Sebab, mereka masih menganggap kehadirannya ke bilik suara diharuskan digerakan oleh sebuah pecahan rupiah sebagai ganti hak pilih mereka di TPS.
Hal itu terungkap dalam diskusi terbatas yang menghadirkan narasumber Ketua Bawaslu Kota Probolinggo, Azam Fikri, Kasatreskrim Polres Probolinggo Kota AKP Jamal, Praktisi Hukum SW Djando Gadahoka, dan Pengamat Politik As’ad Anshori, Minggu Malam (09/07/2023).
Ketua Bawaslu Kota Probolinggo Azam Fikri mengatakan, tidak ada kompromi bagi siapapun yang melakukan pelanggaran dalam proses penyelenggaraan pemilu 2024, kendatipun soal money politik.
“Sebagai Pengawas Pemilu bertugas untuk mensosialisakan betapa pentingnya pengawasan praktik politik uang seperti tugas Panwascam yang tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 “mencegah terjadinya praktik politik uang,”ujar Azam Fikri.
Lebih jauh, Azam Fikri mengatakan, kegiatan pencegahan dirasa masih sangat efektif untuk menyadarkan masyarakat agar tidak memperjual belikan hak suara mereka kepada oknum peserta pemilu.
Baca Juga : Gaes !!! Rupanya Warga Apel Ini Jagoan Gulat, Juarai Kejurprov Gulat Jatim
Kampanye-kampanye politik tanpa uang perlu di perbanyak baik melalui forum grup diskusi (FGD), media sosial atau tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap memiliki banyak pengikut di wilayahnya.
“Kami sudah membentuk 8 kelurahan anti money politik, dan melibatkan akdemisi dan mahasiswa seperti UPM, STIA Bayuangga, dan STAIN sebagai pengawas partisipatif pemilu. Kendalanya kalau menjadi budaya masyarakat seolah-olah menghalalkan karena pesta demokrasi setiap lima tahunan,”tandasnya.
Berbeda dengan Kasatreskrim Polres Probolinggo Kota AKP Jamal mengatakan, ada perbedaan pengaturan antara UU Pilkada dengan UU Pemilu, jika dalam UU Pilkada yang dapat diancam dalam politik uang adalah pemberi dan penerima tetapi dalam UU Pemilu dibatasi pada pemberi.
“Tindak pidana politik uang diatur dalam Pasal 523 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dibagi dalam 3 kategori yakni pada saat kampanye, masa tenang dan saat
pemungutan suara”tuturnya.
Lebih jauh, Kasatreskrim mengatakan, kenyataan dilapangan pasal tersebut sepertinya tidak membuat efek jera bagi Peserta pemilu. Hal ini dikarenakan masyarakat juga dianggap masih sangat pasif dalam mengawasi praktik-praktik politik uang untuk melaporkan kepada pihak Pengawas Pemilu atau pihak penegak hukum yang lebih berwenang.
“Jika masyarakat memahami hakekat pemilu ini dengan baik, maka tidak ada alasan untuk mencederai hak yang telah dimilikinya, termasuk dalam upaya melakukan, baik memberi atau menerima politik uang,”tegas Jamal.
Sementara Praktisi Hukum SW Djando Gadahoka mengatakan, tantangan praktik politik tahun 2024 yang cukup dianggap baru dirasa Pengawas Pemilu baik tingkatan Kecamatan dan Kelurahan yang menjadi ujung tombak masyarakat untuk pengawasan seluruh tahapan Pemilu diharapkan selalu pro-aktif mensosialisakan dan mengingatkan kepada masyarakat guna mencegah terjadinya praktik politik uang sebagai sara kegiatan preventif pengawas kepada masyarakat.
“Soal kebiasaan dan budaya masyarakat dalam kaitannya dengan politik uang, sepertinya masyarakat sudah terbiasa dan menikmati terjadinya politik uang tersebut. Oleh karena itu, kedepan diperlukan upaya yang progresif untuk dapat mengubah perilaku yang demikian,”pungkasnya.(hud/man)