SUARAGONG.COM – Desa Adat Bena terletak di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, dan dihuni oleh sembilan suku: Tizi Azi, Tizi Kae, Wato, Deru Lalulewa, Deru Solamai, Ngada, Khopa, Ago, dan Bena. Keberadaan mereka menciptakan kekayaan budaya yang unik dan menarik untuk dijelajahi.
Kabut tebal di pagi hari membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Namun tidak menghalangi keceriaan anak-anak Bena yang bermain di pekarangan rumah mereka. Suara tawa dan teriakan gembira memenuhi ruang udara di kawasan adat yang terletak di ketinggian 2.245 meter di atas permukaan laut ini. Bena, nama kawasan tersebut, terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada. Jika dilihat dari udara, kompleks rumah di perkampungan adat Bena tersusun rapi memanjang, menyerupai sebuah kapal di ujung tebing.
Keindahan Alam Sekitar, Flores
Bena dikelilingi oleh dataran tinggi berhutan bambu dan beringin yang menghijau sepanjang tahun. Gunung Inerie, yang tampak berdiri kokoh menyerupai piramida, menjadi puncak tertinggi yang menjaga keberadaan Bena. Di sebelah timur terdapat Bukit Wolo Ra, sementara di bagian selatan kita dapat menyaksikan indahnya pantai Pulau Flores. Di utara Bena, ada Bukit Manulalu yang dihiasi vila-vila, dan pada malam hari, lampu-lampu di sana memantulkan cahaya seperti kunang-kunang.
Sejarah dan Tata Letak Desa Adat Bena
Bena telah ada sejak 12 abad silam dan dijuluki sebagai “kampung para dewa”. Tata letak permukiman di kampung ini memiliki makna dan filosofi tersendiri. Pintu masuk ke perkampungan ini menghadap ke Gunung Inerie, dan rumah-rumah di Bena yang berjumlah sekitar 45 unit membentuk kawasan menyerupai huruf U. Bangunan rumah terbuat dari kayu, dengan atap tinggi yang ditutupi oleh alang-alang yang dianyam, dikenal sebagai keri, yang mampu bertahan hingga 30 tahun.
Seluruh material bangunan diambil dari lingkungan sekitar, dan pembangunan rumah harus mempertahankan kontur asli tanahnya, didirikan di atas tumpukan batu-batu alam setinggi hingga 3 meter. Hal ini menyebabkan bentuk perkampungan Bena menyerupai kawasan berundak-undak. Terdapat 57 kepala keluarga atau sekitar 368 jiwa yang menghuni desa ini.
Budaya dan Tradisi
Kampung Bena dikenal sebagai kawasan yang masih menyisakan budaya zaman purba. Saat mengunjunginya, kita seolah menembus lorong waktu. Ditandai oleh kehadiran batu-batu besar dari zaman megalitikum yang digunakan sebagai meja untuk ritual adat. Seperti Watu Lewa dan Nabe. Di ujung utara kampung, terdapat bongkahan batu besar yang berfungsi sebagai kursi persidangan, yang disebut Turbupati, hanya boleh diduduki oleh kepala suku untuk merundingkan solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat.
Selain itu, terdapat bangunan yang disebut nga’du dan bhaga, masing-masing berjumlah 9 buah sesuai jumlah suku di kampung ini. Keduanya adalah simbol leluhur. Nga’du melambangkan nenek moyang laki-laki, sementara bhaga melambangkan nenek moyang perempuan. Di depan rumah penduduk, terlihat hiasan tanduk dan rahang kerbau serta taring babi yang dipajang sebagai simbol status sosial, didapat dari hewan-hewan yang dikorbankan saat upacara adat.
Bagi orang Bena, rumah bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga tempat berkumpul untuk menikmati hidup dan menyelesaikan persoalan bersama. Banyak petuah disampaikan oleh tetua adat kepada anak-cucu saat diadakan kegiatan berkumpul, sekaligus mengenang jasa leluhur.
Akses dan Destinasi Wisata Desa Adat Bena
Kampung Bena dapat dicapai dengan kendaraan sewa dari Bajawa, berjarak sekitar 22 kilometer ke arah selatan. Rute perjalanan menyajikan jalanan menurun dan tanjakan dengan kelokan tajam. Dari Labuan Bajo, Bajawa dapat ditempuh dalam waktu 7–8 jam perjalanan darat. Kampung Bena merupakan salah satu destinasi utama di Kabupaten Ngada, sering dikunjungi wisatawan mancanegara, terutama dari Eropa seperti Jerman dan Italia.
Kampung ini buka untuk pengunjung dari pukul 08.00 WITA hingga 17.00 WITA. Pengunjung lokal dikenakan karcis masuk sebesar Rp20.000 per orang, sedangkan wisatawan asing dikenakan tarif Rp25.000 per orang, sejak diterapkan pada 2013. Tokoh adat akan menyambut setiap wisatawan dengan mengalungkan selendang. Dana yang diperoleh dari karcis digunakan untuk merawat dan mengelola kampung.
Desa Adat Bena adalah tempat yang kaya akan budaya dan sejarah, menawarkan pengalaman unik bagi para pengunjung yang ingin mengenal lebih dalam kehidupan masyarakat dan tradisi mereka. (Aye/Sg).
Baca Juga : Gaes !!! Air Terjun Ponot: Keindahan Tersembunyi dan Tertinggi di Indonesia