Oleh : ABD. AZIZ, S.H., S.Pd.I., M.Pd.
Santri Kyai Chamzawi, Musyrif dan Murabbi Ma’had Sunan Ampel Al-Aly UIN Malang (2004-2007). Kini, Advokat, Legal Consultant, Lecture, Mediator Nasional, CEO Firma Hukum PROGRESIF LAW, dan Sekjen DPP Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK)_
Saat membuka whatsApp group Ikatan Alumni Universitas Islam Negeri Malang (IKA UIN MALANG), Rabu (16/8/2023) siang, penulis terkejut membaca status Gus Isroqunnajah, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama’ (PCNU) Kota Malang. (Terbaca Kalimat red.)
“Memohon sambung doa atas kritisnya Kyai Chamzawi, Rois Syuriah PCNU Kota Malang, Jawa Timur”.
Tidak berselang lama, penulis kembali dikejutkan dengan berita lanjutan mengabarkan Kyai Chamzawi “kundur”. (baca wafat). Praktis, jantung penulis berdegup kencang mendengar berita duka tersebut.
“Sejak kapan, Kyai Chamzawi sakit? Apakah rekam medis nya memang mengkonfirmasi adanya kegawatan penyakitnya? Benarkah dilarikannya ke klinik UIN karena ada sesuatu yang emergency, gawat?” Itulah sederet tanya yang berkecamuk dalam pikiran penulis.
Karena sedang berjibaku mengurus Kanjeng Ummi, yang sakit sekira dua tahunan ini, penulis belum berkesempatan Takziah, menghadiri pemakaman almarhum Kyai Chamzawi.
“Besok Kamis (17/8/2023) sore, insya Allah, akan segera ke rumah duka. Turut menghibur Ibu Nyai Chamzawi,” gumam penulis dalam hati.
Baca Juga : Gaes! Manfaatkan Potensi Alam, Gelar Upacara HUT RI Di Kawasan Hutan
Keesokan harinya, Kamis (17/8/2023) sore, penulis meminta istri bersiap, mengajak takziah ke dalem Kyai Chamzawi (alm), di kawasan Ma’had Sunan Ampel Al-Aly UIN Malang.
Tak jauh dari gubuk penulis. Sekira sembilan menitan. Sesampainya di rumah duka, suasana rumah dinas dewan pengasuh (nampak red) diselimuti kesedihan mendalam. Diterima Direktur Ma’had, Kyai Badruddin, penulis mengambil tempat duduk.
Sedang Mbak Lika, bundanya anak-anak langsung menemui Ibu Nyai Sri Wahyuni, _garwo_, (baca isteri red) Kyai Chamzawi. Kiai Bad, biasa saya sapa, berkenan menjelaskan kronologi singkat bagaimana Kyai Chamzawi, akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
“Kyai Chamzawi tidak sakit. Bahkan, dapat disebut jarang sakit. Kemarin, Rabu (16/8/2023) pagi, masih ngisi pengajian di Jagalan, Sukun, Kota Malang. Setelah itu, bergegas ke Kantor MUI Kota Malang. Sempat memimpin rapat tapi mendadak minta pulang,” ungkap dosen Fakultas Syariah ini.
“Lalu, karena Kyai Chamzawi, meminta pulang, diantar pulang oleh sopir menuju kediaman di Ma’had. Kemudian, perasan Kyai tidak enak. Keringat dingin mulai bercucuran. Akhirnya, Kyai meminta dibawa ke Klinik UIN. Waktu turun dari mobil menuju ruang klinik, Kyai jalan sendiri. Diperiksa lah, dan kondisinya memburuk. Tak lama kemudian, dokter mengabarkan kalau Kyai sudah meninggal,” papar dosen Fakultas Syariah UIN, yang juga kolega dekat almarhum ini.
“Berbicara tentang kepergian Kiai, satu hal yang patut kita renungkan. Apa, itu? Ia meninggal tanpa sakit. Tanpa riwayat penyakit. Dan tidak merepotkan keluarga. Kami berprasangka baik, karena beliau orang baik. Meninggal dengan cara yang baik,” urai dosen, yang juga pengajar di Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo ini. Mendengar kisah kepergian almarhum, penulis menghela nafas panjang.
Walaupun Kiai meninggal dengan tidak merepotkan keluarga, tetap saja tak dapat menyembunyikan kesedihan.
Mata penulis pun berkaca-kaca.Usai berbincang sekira empat puluh menitan dengan Direktur Ma’had ini, penulis menemui Ibu Nyai Chamzawi, di ruang tamu utama.
Suasana berkabung menyelimuti istri Kyai Chamzawi, yang bersandar di tembok, tepat di bawah foto keluarga. _Assalamualaikum, Ibu Nyai Chamzawi?” sapa penulis saat membuka daun pintu.
_”Waalaikumussalam, Mas Aziz, silahkan duduk,” jawabnya sambil sejenak menutup wajah dengan kedua tangannya: sedih!Wajah bersihnya tampak memendam kesedihan.
baru 24 jam, Ibu Nyai Chamzawi, ditinggal selamanya oleh Kyai Chamzawi. Namun, ia berusaha tegar dalam menerima para pentakziah yang datang silih berganti.
Ibu Nyai Chamzawi, bercerita soal kehidupan bersama almarhum selama ini. Termasuk, Kyai Chamzawi, yang belum pernah sekalipun marah padanya. Anak-anak pun tidak takut pada Abah-nya. Sebaliknya, semuanya sungkan untuk sekadar menyampaikan keinginan padanya semasa hidupnya. “Masakan apapun, Abah berkenan makan.
Tidak pilih-pilih makanan. Kesukaannya minum kopi tiap hari kecuali hari Senin dan Kamis serta bulan Ramadhan.
Ngopi menjelang Hari Raya Idul Fitri, maupun Idul Adha,” kenangnya sesekali tampak mengingat seribu kebaikan almarhum.
Mendengar penuturan Ibu Nyai Chamzawi, tak henti-hentinya penulis coba menghibur. Kalimat (terucap red), bernada permintaan untuk tidak telat makan dan istirahat. Agar kondisi badan tetap sehat.”Ibu Nyai harus sabar, sabar dan sabar.
Tidak boleh telat makan dan istirahat. Kiai Chamzawi, orang baik. Baik sekali. Tidak pernah menyinggung perasaan orang lain.
Sejak dulu, tulus, termasuk memberi ceramah, pengajian hingga ke pelosok kampung,” pinta penulis, dan meyakinkan Ibu Nyai.
*Duka dan Testimoni*
Akhirnya, penulis turut berduka dan berbela sungkawa yang mendalam atas wafatnya Kyai Chamzawi, Pengasuh Ma’had Sunan Ampel, Al-Aly UIN Malang, pada Rabu Wage, 16 Agustus 2023 M/29 Muharram 1445 H./28 Sura 1957 Dzulhijjah. Sedikit testimoni pada istri almarhum.
Sejauh amatan penulis, eksistensi Pesantren Kampus, beralamat di Jalan Gajayana 50 Malang, kini telah berkembang dan maju.
Bahkan hingga diakui banyak kalangan, tidak lepas dari kepemimpinan tokoh kharismatik, bersahaja, dan low profile. Kyai Chamzawi, yang kini berpulang meninggalkan legacy, warisan yang baik.
Saat memimpin Ma’had UIN, almarhum kerap melempar senyum, Kyai yang dikenal dengan kesabaran yang membentang itu lekat dengan sikap sederhana dan rendah hati dalam banyak kelebihan. “Manifesto Padi” berilmu tapi sama sekali tidak menampakkan padatnya isi.
Sebaliknya, ia kian merunduk. Tak heran, para santrinya makin takzim, amat hormat, dan sopan padanya.
Tulus pada siapa pun, nasihat-nasihatnya menyejukkan. Siapapun nyaman berada di dekatnya. Hal ini membuat Kyai Chamzawi, makin disegani. Dakwahnya pun penuh kelembutan. Jauh dari kesan memaksakan kehendak.
Baginya, ilmu itu harus diamalkan agar potensial berbuah. Soal berbekas pada pendengarnya, dan berpotensi diamalkan dalam kehidupan sehari-hari adalah soal lain. Cukuplah Allah SWT, yang mengatur hidayah pada makhluknya.
Itulah fakta dan realitas kehidupan Kyai Chamzawi selama ini.Untuk itu, penulis bermunajat pada-Nya.
“Gusti, kiranya Engkau berkenan menerima amal ibadahnya, menyiapkan surga untuknya, meluaskan ketabahan dan kesabaran bagi keluarga yang ditinggalkan”.
Selamat jalan, Kiai. Bercengkrama dengan Sang Pencipta. Sungguh, para santri merasa kehilangan sosok guru, orang tua sekaligus panutan yang tiada duanya. Terima kasih atas fatwa-fatwanya. Doa para pendherek (baca para santri red) Kyai, menyertai panjenengan. (*)