SUARAGONG.COM – Aku rasa generasi kita, Gen Z, memiliki pandangan yang unik tentang hustle culture. Dulu, hustle culture lebih sering diasosiasikan dengan orang-orang dewasa yang mengejar karier dan status sosial dengan cara yang, terus terang, cukup ekstrim. Tapi sekarang, tren ini merambah ke kalangan Gen Z, termasuk aku dan teman-teman sebaya. Dan, jujur saja, aku punya pengalaman menarik (dan sedikit melelahkan) tentang hal ini.
Aku ingat ketika pertama kali masuk ke dunia kerja, aku merasa harus selalu produktif. Setiap waktu luang, seolah-olah aku gagal kalau nggak memanfaatkannya untuk belajar skill baru, bekerja lebih lama, atau bahkan memulai usaha sampingan. Dari situlah aku mulai terjebak dalam pola pikir “hustle atau kalah.” Awalnya seru, rasanya bangga banget bisa multitasking dan punya banyak aktivitas, tapi ternyata efeknya nggak selalu seindah yang dibayangkan.
Satu hal yang jelas aku pelajari dari perjalanan ini adalah bahwa hustle culture sering kali memaksakan kita untuk mengorbankan hal-hal yang seharusnya nggak boleh diabaikan, seperti istirahat, kesehatan mental, dan hubungan sosial. Aku sendiri pernah sampai titik di mana waktu bersama keluarga rasanya cuma tambahan di akhir jadwal. Padahal, nggak ada yang lebih berharga daripada waktu dengan orang-orang yang kita sayangi, kan?
Salah satu momen yang menyadarkan aku adalah saat burnout menyerang. Setelah berbulan-bulan tenggelam dalam berbagai aktivitas, tanpa istirahat yang cukup, produktivitasku justru menurun drastis. Bukan cuma soal fisik, tapi mental pun mulai terasa berat. Dari situ, aku sadar bahwa hustle culture sebenarnya bisa berbahaya kalau kita nggak paham bagaimana mengelolanya.
Nah, kalau kamu merasa terjebak dalam hustle culture ini, ada beberapa tips yang menurutku bisa membantu.
Pertama, coba tetapkan batasan yang jelas antara waktu bekerja dan waktu untuk diri sendiri. Gen Z sering kali terjebak dalam rutinitas kerja yang nggak mengenal jam karena teknologi membuat kita selalu terkoneksi. Tapi, penting untuk punya waktu “off” dari segala aktivitas kerja. Matikan notifikasi setelah jam kerja berakhir, dan gunakan waktu itu untuk hal-hal yang benar-benar kamu nikmati, entah itu hobi, olahraga, atau hanya istirahat.
Kedua, jangan lupa untuk mendengarkan tubuhmu. Aku dulu sering merasa bersalah kalau nggak bekerja sepanjang hari. Tapi, setelah burnout, aku belajar bahwa tubuh dan pikiran kita butuh waktu untuk recharge. Istirahat bukan berarti malas. Kadang, dengan memberi diri sendiri waktu untuk istirahat, produktivitas kita justru meningkat ketika kita kembali bekerja.
Ketiga, pahami bahwa sukses nggak melulu diukur dari seberapa sibuknya kamu. Sukses bisa datang dalam berbagai bentuk, dan nggak semua kesuksesan perlu dicapai dengan terus-menerus bekerja tanpa henti. Beberapa orang mencapai puncak kariernya dengan cara yang lebih terstruktur dan mindful. Hustle culture kadang memberi ilusi bahwa bekerja keras tanpa henti adalah satu-satunya jalan menuju sukses, padahal keseimbangan antara hidup dan kerja jauh lebih penting dalam jangka panjang.
Selain itu, ingat bahwa setiap orang punya perjalanan yang berbeda. Hustle culture sering membuat kita membandingkan diri dengan orang lain yang tampak lebih sukses, tapi kenyataannya, semua orang punya pace-nya masing-masing. Jadi, jangan terburu-buru dan jangan merasa tertekan karena orang lain terlihat lebih maju.
Jadi, setelah semua pengalaman ini, aku belajar untuk lebih bijaksana dalam menjalani hustle culture. Alih-alih membiarkan diriku tenggelam dalam kesibukan tanpa henti, aku lebih memilih untuk fokus pada kualitas daripada kuantitas. Aku masih bekerja keras, tapi aku pastikan aku juga punya waktu untuk diriku sendiri.
Akhirnya, yang paling penting adalah menjaga keseimbangan. Hustle itu nggak selalu buruk, tapi kalau nggak diatur dengan baik, bisa menelan kita. Jadi, buat kamu yang merasa sedang terjebak dalam hustle culture, coba berhenti sejenak dan evaluasi apa yang benar-benar penting dalam hidupmu. Jangan sampai kita kehilangan momen-momen berharga hanya karena kita terlalu fokus pada kesibukan yang mungkin nggak selalu produktif. (acs)